BANTEN – Kebiasaan minum kental manis sebagai susu oleh anak terutama balita masih banyak ditemukan. Di Banten, pemberian kental manis untuk anak dipicu karena kebiasaan dan pengaruh iklan puluhan tahun yang melekat di benak masyarakat. Padahal, cara beriklan produk kental manis sudah mulai berubah sejak BPOM mengeluarkan aturan mengenai iklan dan label kental manis. 

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) Yuli Supriati membenarkan iklan-iklan kental produk kental manis yang menunjukkan cara minum diseduh sebagai susu memang sudah berubah. “Dulu memang iklannya sangat menunjukkan minum kental manis agar anak sehat, minum setiap pagi dan lain sebagainya. Sejak diatur oleh BPOM, pelan-pelan sudah diiklankan sebagai topping, meski melalui kampanye sosial media kadang masih suka ditemukan pelanggaran,” papar Yuli pasca kunjunganya ke Pandeglang 23-24 Mei kemarin. 

“Perubahan cara beriklan ini adalah yang harus kita apresiasi terhadap produsen. Namun, yang masih menjadi PR hingga saat ini bahwa ternyata pengaruh iklan kental manis sebagai susu di tahun-tahun sebelumnya itu, ternyata masih berdampak hingga saat ini. Masyarakat yang dulu mungkin di usia kecil atau muda terpapar pesan iklan tersebut, hingga kini ternyata masih tersimpan di benaknya bahwa kental manis adalah susu untuk anak. Alhasil, walaupun sekarang iklan sudah diatur, tapi kebiasaan itu masih dilanjutkan untuk anak-cucu mereka,” jelas Yuli. 

Lebih lanjut aktivis kesehatan masyarakat ini menuturkan, kunjungannya ke beberapa wilayah di Banten adalah dalam rangka pendampingan penelitian konsumsi kental manis oleh balita yang dilakukan bersama kader PP Aisyiyah. Terdapat 10 wilayah yang menjadi wilayah penelitian yaitu Kecamatan Rangkasbitung, Warung Gunung, Leuwidamar, Cihara, dan Cibeber yang berada di wilayah Kabupaten Lebak. Kecamatan Labuan, Jiput, Cikedal, Cisata, dan Koroncong berada di wilayah Kabupaten Pandeglang. Penentuan lokus penelitian tersebut berdasarkan prevalensi stunting wilayah yang masih  tinggi. 

Kabupaten Pandeglang misalnya, yang menjadi wilayah dengan prevalensi balita stunting tertinggi di Banten berdasarkan SSGI 2022, yakni mencapai 29,4%. Di posisi ke-3 diikuti Kabupaten Lebak di peringkat ketiga sebesar 26,2%.

“Pada umumnya, yang kami temukan di sini relatif seragam, bayi dan balita mengkonsumsi makanan yang seharusnya bukan untuk balita seperti susunya pakai kental manis, snack dan makanan ringan bahkan gorengan,” ungkap Yuli. Kesalahan konsumsi makanan dan minuman oleh anak, balita dan bayi tersebut tentu mempengaruhi tumbuh kembang mereka. 

Jumsinah (40 th), warga Rangkasbitung misalnya. Berat badan anaknya yang berusia 1,5 tahun saat ini hanya 5 kg. Sang anak juga menderita flek paru. Sang ibu mengakui asupan sehari-harinya adalah gorengan. Tak berbeda jauh dengan Jumsinah, Irawati (29 th) mengakui ketiga anaknya minum kental manis sejak usia belum genap 1 tahun. Ia sendiri mengetahui kental manis bukan susu untuk anak. Namun karena sudah terbiasa, Jumsinah enggan mengganti susu anaknya. 

“Tau sih, ga boleh buat anak. Tapi kan dulu kita nontonnya TV, di TV katanya itu (kental manis *red) buat susu anak ya, ya udah biarin aja,” ujar ibu rumah tangga ini pasrah. 

Edukasi Susu untuk Masyarakat Diperlukan

Bagi beberapa Ibu, tidak memberikan susu untuk anaknya adalah sesuatu yang membuatnya malu. Sehingga Ibu terpaksa memberikan kental manis yang murah dan lumrah di lingkungan masyarakat. Ibu merasa anaknya sehat-sehat saja, faktanya tubuhnya kurus dan kulit gatal-gatal. Di Kecamatan Cisata, Sumiyati memberikan kental manis untuk anaknya Nadhifa (3) sejak usia 1,6 tahun atau sejak lepas ASI.

Anak dari Meliyana berusia 3 tahun, setiap 1,5 jam selalu minta dibuatkan kental manis, rasa coklat. Tubuhnya nampak lebih berisi dari teman-teman sebayanya. Meliyana juga merasa khawatir, pasalnya di lingkungannya pernah terjadi anak usia TK menderita diabetes karena konsumsi minuman berpemanis dan di rawat di Rumah Sakit. 

Beralih di Kecamatan Labuan, Bu Novi Damayanti, 1 Bulan habiskan 4 Kaleng SKM Gold untuk anaknya. Awalnya tidak mengakui bahwa ia memberikan kental manis hingga Tim YAICI berbicara melakukan pendekatan akhirnya ia mengakuinya. 

Selain kurangnya edukasi, pernikahan dini menjadi salah satu faktor minimnya penerapan literasi gizi pada anak. Putri (19) menikah dari usia 16 tahun. Memiliki anak, Aulia (2) sudah mengkonsumsi kental manis sejak usia 1 tahun, ia diberikan kental manis karena saran dari saudara. 

Dalam hal garda terdepan kesehatan masyarakat Ibu dan anak berada di tangan kader posyandu yang harus memiliki pengetahuan kesehatan keluarga. Edukasi kepada kader posyandu akan berdampak pada kesehatan ibu dan anak di lingkungannya. YAICI mendukung program pemerintah dalam merevitalisasi Posyandu demi tujuan baik untuk kesehatan masyarakat Indonesia. Kader menjadi harapan bagi masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

English EN Indonesian ID