Akhir September 2019 , YAICI berkesempatan mengunjungi Aceh, kota Serambi Mekah. Kunjungan tersebut dalam rangka kerjasama YAICI dengan Aisyiyah melakukan penelitian tentang Kebiasaan Konsumsi Susu Kental Manis dan Dampaknya terhadap Gizi Buruk Anak. Penelitian dilakukan di 3 kabupaten yaitu Banda Aceh, Pidie dan Aceh Besar.
Sejatinya, Aceh adalah negeri yang indah dan kaya akan hasil alam. Salah satu komoditas yang menyumbang pendapatan daerah. Seiring dengan semakin populernya kopi diseluruh penjuru dunia, ekspor kopi dari Aceh pun selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Warung atau kedai kopi pun terserak disetiap sudut Aceh, menjadi pusat kegiatan millenial serta tempat bertegur sapa dan berbagi berita kalangan yang lebih berusia.
Aceh memang sempat luluh lantak saat bencana tsunami 2004 silam. Tsunami atau yang akrab disebut dengan istilah ‘smong’ tak selamanya membuat masyarakat Aceh terus menangis. Pelan tapi pasti, Aceh mebali berbenah, ekonomi menggeliat dan kehidupan baru kembali dibangun. Hasilnya, Aceh berada pada posisi keempat pertumbuhan ekonomi se – Sumatera, dengan angka pertumbuhan 5,43%.
Namun sepertinya ada yang terlupa atau barangkali luput dari perhatian kita selama ini. Dari sisi kesehatan, anak-anak Aceh tak begitu beruntung. Sebab berbagai persoalan gizi mengancam masa depan mereka, malnutrisi yaitu gizi kurang/ gizi buruk dan berat badan berlebih/ obesitas pada anak-anak. Maka tak heran bila Riskesdas 2018 menempatkan Aceh sebagai propinsi dengan prevalensi stunting tinggi yaitu sebesar 30,8%.
Dengan di dampingi Pemuda Muhammadyah selaku tim pelaksana penelitian di lapangan, YAICI mengunjungi sejumlah rumah responden di Sigli, Kab. Pidie. Keluarga Ibu Juniar yang menampati sebuah rumah dengan halaman luas di jantung kota Sigli aalah keluarga pertama yang kami temui. Ibu Juniar memiliki 3 anak masing-masing berusia 2,5 tahun, 2,5 tahun dan 6 bulan. Sumber pendapatan keluarga adalah dari hasil berdagang kebutuhan sehari-hari.
Sayangnya, ketiga anak ibu Juniar sehari-harinya mengkonsumsi sedikitnya 3 gelas susu kental manis. Kebiasaan minum susu kental manis tersebut disebut Ibu Juniar dimulai saat anak sulungnya mulai berhenti ASI dan beralih pada susu kental manis. Sejak itu, susu kental manis menjadi produk wajib yang harus selalu tersedia di rumah ibu Juniar. Rata-rata setiap minggu ia harus menyiapkan 3-4 kemasan pouch susu kental manis untuk kebutuhan ketiga anaknya. Apabila tidak tersedia atau Juniar mengganti dengan susu jenis lain, maka sang anak akan mengamuk.
Dari kota Sigli, kami melanjutkan perjalanan menuju Gampong (Desa) Blang Kumot Tunong, sekitar 1 jam perjalanan dari pusat kota Sigli. Desa ini memiliki sejarah panjang dalam perjuangan rakyat Aceh serta tanah kelahiran pejuang Aceh Tgk. Ciek Di Tiro. Meski sempat menjadi desa terisolir karena lokasinya yang berada di daerah perbukitan, namun di era modernisasi ini Blang Kumot Tunong pun mulai tersentuh teknologi. Sehingga, pertanian, perkebunan serta peternakan pun semakin berkembang setiap tahunnya.
Sebuah jembatan beton yang cukup panjang menjadi pintu masuk kamui ke desa ini. Di bawahnya, terlihat aliran sungai tanpa air, menyisakan bebatuan dan pasir kering. Dampak kemarau panjang tahun ini, mengakibatkan sungai yang lebarnya tak kurang dari 900 m ini hanya menyisakan aliran kecil disela sela bebatuan. Setelahnya, petak-petak sawah dengan padi yang mulai menguning menyambut, menandakan masyarakat desa ini hidup dari pertanian.
Beruntung, kami disambut oleh Ibu Putri, kader posyandu Blang Kumot Tunong yang ditangannya tergenggam data peserta Posyandu. Informasi pertama yang ia sampaikan adalah, 16 dari 37 anak usia 0-23 bulan, memiliki berat badan dibawah garis merah pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Empat diantaranya rutin mendapat Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dari puskesmas demi mencukupi kebutuhan gizi.
Ibu Putri mengajak kami mengunjungi keluarga balita dengan masalah gizi ini. Dari hasil bincang-bincang singkat dengan para ibu muda ini, terlihat bahwa orang tua tidak paham tentang kebutuhan gizi untuk anak, juga tidak mengetahui konsep isi piringku.
Dais misalnya, kami temui di rumahnya di Gampong Blang Kumot Tunong sedang asyik bermain bersama ibu dan neneknya . Bayi yang baru berusia 13 bulan memiliki berat hanya sekitar 5 kg dan sejak usia 7 bulan sudah mendapat asupan PMT. Padahal, normalnya bayi usia 13 bulan memiliki berat sekitar 10 kg. Dari hasil bincang-bincang dengan sang ibu, Dais ternyata kerap mengkonsumsi makanan ringan seperti chiki-chikian dan makanan berperisa lainnya. Sementara untuk asupan makanan sesuai dengan isi piringku kurang diperhatikan oleh orang tua. Bagi orang tua Dais, saat anak sudah kenyang artinya asupan untuk anak sudah dianggap cukup.
Ternyata, bukan hanya Dais yang memiliki persoalan gizi dari kesalahan asupan makanan. Alfian, Qonita dan Fatimah yang kami temui saat itu juga memiliki persoalan yang sama: kesalahan asupan makanan.
Kunjungan singkat bersama teman-teman dari Pemuda Muhammadyah dan Kader PW Aisyiyah Aceh adalah pelajaran penting bagi YAICI, bahwa edukasi gizi untuk orang tua penting untuk dilakukan. Tidak semua orang tua bisa mencerna informasin yang disampaikan melalui media atau media sosial dengan baik. Bagaimanapun, penyuluhan langsung ke masyarakat, dan membuka interaksi dengan orang tua sangat bermanfaat bagi masyarakat. Selain mengurangi resiko mispersepsi, juga membangun rasa percaya diri orang tua dalam mengasuh dan melahirkan bibit unggul mada depan bangsa.
Dalam selang waktu yang tidak begitu panjang, YAICI juga sempat berdiskusi dengan kader-kader Aisyiyah Kab Pidie, mengenai pengetahuan orang tua tentang jenis-jenis susu. Bahwa ada banyak jenis susu yang peruntukannya juga berbeda-beda, bahkan ada susu yang sebenarnya tidak untuk dimkonsumsi sebagai minuman, seperti susu kental manis. Bahwa susu sebenarnya tidak kental dan tidak manis, namun faktanya, masyarakat pada umumnya beranggapan semua yang berwarna putih adalah susu.
Add a Comment