Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fakta yang ada dimasyarakat tentang pengetahuan dan kebiasaan konsumsi Susu Kental Manis (SKM) danKrimer Kental Manis (KKM) pada balita di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku dan NTT pada Tahun 2020. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian campuran atau mix method. Adapun metode yang dipakai adalah survei cepat, wawancara, pengumpulan data dokumentasi dan wawancara mendalam dengan para stakeholder. Selanjutnya penelitian ini berlokasi di lima propinsi yang mana kelima propinsi tersebut di kategorisasi menjadi dua berdasarkan justifikasi propinsi dengan prevelensi angka stunting tertinggi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur, Maluku dan NTT. Data yang didapat dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis dan disajikan menggunakan teknik deskriptif analitik. Dari data yang disajikan akan didapati kesimpulan yang terbagi dari dua kategorisasi wilayah, namun keduanya memiliki kesimpulan terhadap temuan yang sama; yaitu masih banyak kelompok ibu yang menganggap bahwa SKM dan KKM adalah susu. Oleh karena itu banyak diantaranya orang tua yang masih memberikan SKM dan KKM sebagai minuman susu secara rutin pada balitanya. Hal ini menjadi potensi terjadinya gizi buruk pada anak. Informasi yang salah tersebut didapatkan dari banyak sumber, dan alasan dari kebanyakan ibu memberikan SKM dan KKM karena faktor ekonomi yang terdampak dari adanya pandemic covid -19.Kata Kunci: Susu Kental Manis, Krimer Kental Manis, Stunting, Gizi Buruk.

Abstract

This study aims to find out the facts that exist in the community about the knowledge and habits of consuming Sweetened Condensed Milk (SKM) and Sweetened Condensed Creamer (KKM) in toddlers in DKI Jakarta, West Java, East Java, Maluku, and NTT in 2020. The type of research carried out is mixed research or mixed method. The methods used are quick surveys, interviews, documentation data collection and in-depth interviews with stakeholders. Furthermore, this study was in five provinces where the five provinces were categorized into two based on the justification of the proposer with the highest prevalence of stunting rates, namely DKI Jakarta, West Java, East Java, Maluku, and NTT. The data obtained in this study are then analyzed and presented data using descriptive analytics techniques. After that, based on the data presented, conclusions can be found that are divided into two regional categorizations, but both have conclusions on the same findings, namely that there are still many groups of mothers who consider that SKM and KKM are milk so that many of them still provide as routine drinks to toddlers to bring the potential for malnutrition to children. Furthermore, the misinformation by mothers was obtained from many sources and most mothers gave SKM and KKM due to economic factors affected by the Covid-19 pandemic.

PENDAHULUAN

Sumber Daya Manusia (SDM) yang sehat, cerdas, dan berbudi pekerti luhur berawal dari tercapainya pertumbuhan dan perkembangan yang optimal sejak 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000) HPK. Kegagalan tumbuh kembang pada periode awal kehidupan yang ditandai dengan kejadian stunting berdampak terhadap rendahnya kualitas SDM pada generasi mendatang. Salah satu upaya strategis yang dapat dilakukan adalah menurunkan prevalensi stunting. Penurunan angka stunting di Indonesia telah berhasil dilakukan yaitu dari 37,2 % (2013) menjadi 27,67 % (2019) (Kemenkes, 2019). Namun angka ini masih termasuk dalam kategori prevalensi sedang (lebih dari 20 %) berdasarkan standar dari World Health Organization (WHO, 2018). Stunting atau kekurangan gizi secara kronis dipengaruhi secara langsung oleh asupan makanan dan status kesehatan bayi. Penyebab utama terjadinya stunting adalah kemiskinan terutama kondisi daerah yang terisolir. Namun kondisi ini juga umum terjadi pada masyarakat di perkotaan atau daerah penyangga ibukota dengan status ekonomi menengah hingga atas. Salah satu faktor yang berperan terhadap terjadinya stunting adalah kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai asupan makanan bergizi pada anak terutama periode 1000 HPK. Berbagai studi dan fakta di masyarakat menunjukkan bahwa terjadinya kekurangan gizi yaitu gizi buruk dan stunting disebabkan kesalahan pemberian asupan makanan oleh ibu terhadap anak seperti kasus gizi buruk yang terjadi di di Kendari dan Batam. Stunting dan masalah gizi kurang lainnya ditentukan sejak periode kehamilan hingga periode pemberian Air Susu Ibu yaitu pemberian ASI eksklusif dilanjutkan hingga masa penyapihan 2 tahun (Kemenkes, 2013). ASI merupakan sumber makanan utama bagi bayi sejak dilahirkan hingga berusia 6 (enam) bulan. Namun, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia (Riskesdas) tahun 2018, cakupan pemberian ASI eksklusif secara nasional menurun secara signifikan dari 54% menjadi sekitar 30%. Selain itu, pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) secara dini sebelum bayi 10 berusia 6 (enam) bulan. Selain kandungan gizi MP-ASI yang tidak sesuai dengan kebutuhan bayi, seringkali mengandung tinggi gula. Gula yang tinggi menjadikan anak mudah kenyang sehingga sulit mengkonsumsi makanan bergizi sesuai kebutuhan hariannya. Selain itu, kandungan gula yang tinggi pada makanan berdampak terhadap terjadinya berbagai penyakit degeneratif pada masa dewasa seperti penyakit diabetes melitus. Salah satu makanan yang diwariskan sejak lama untuk dikonsumsi oleh masyarakat di Indonesia terutama oleh anak-anak adalah Susu Kental Manis (SKM). Persepsi mengenai SKM sebagai sumber makanan bergizi yang sudah terbentuk sejak jaman penjajahan. Asumsi ini diperkuat melalui pesan 4 Sehat 5 Sempurna dan diiklankan secara sporadis di masyarakat. Namun kenyataannya SKM mengandung gula yang sangat tinggi yaitu minimal 70% sukrosa atau terdapat 20gram kandungan gula per sekali saji/1 gelas, dengan nilai protein 1-gram lebih rendah dari susu lainnya. Bahkan, ada SKM yang tidak mengandung susu. SKM dikonsumsi hanyalah sebagai bahan tambahan makanan dan minuman atau topping dan tidak boleh diberikan kepada bayi. Himbauan terhadap pembatasan konsumsi SKM terutama larangan bagi bayi ditetapkan dalam Perka BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan terkait SKM Sebagai Bentuk Perlindungan bagi Masyarakat. Peraturan ini sebelumnya di informasikan dengan dikeluarkannya Surat Edaran No HK.06.5.51.511.05.18.2000 tahun 2018 tentang Label dan Iklan pada produk Susu Kental dan Analognya (sub kategori pangan 01.3) yang ditujukan kepada seluruh produsen/importir/distributor SKM. Surat edaran tersebut menegaskan bahwa label dan iklan SKM tidak boleh menampilkan anak usia di bawah 5 tahun dan tidak diiklankan pada jam tayang acara anak-anak. Meskipun sebagian besar produsen sudah mengganti label Susu dengan kata Krimer Kental Manis (KKM), namun sayangnya masih terdapat produsen yang belum sepenuhnya menjalankan aturan ini. Hasil observasi di masyarakat menunjukkan bahwa masih ada produsen yang mempromosikan KKM sebagai minuman susu kepada orang tua dan anak-anak. Berbagai alasan orang tua terutama di wilayah pedesaan dalam memberikan KKM berdasarkan fakta lain yang ditemukan di masyarakat khususnya di pedesaan adalah KKM adalah susu, seperti yang mereka ketahui dari iklan TV dan orang tua mereka. KKM murah dan anak suka karena rasanya yang manis. Selain itu karena hanya SKM dan KKM yang tersedia di kampung mereka seperti yang ditemui di desa Kompol Baduy luar. Untuk mengetahui pemberian SKM/KKM pada balita sebagai minuman susu/pengganti ASI, YAICI bekerjasama dengan Majelis Kesehatan PP Aisyiyah dan Bidang Kesehatan Muslimat NU di 5 (lima) di wilayah dengan angka stunting tertinggi yaitu; Propinsi DKI Jakarta (Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Utara), dan Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi) bersama dengan PP Aisyiyah. Dengan Bidang Kesehatan Muslimat NU dilakukan di Propinsi Jawa Timur (Kab Sampang, Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep), Maluku (kota Ambon) dan NTT (Kota Kupang). Data hasil penelitian akan dipergunakan sebagai bahan laporan untuk memberikan masukan atau evaluasi kinerja instansi kesehatan dalam kampanye bebas gizi buruk dan stunting dan juga sebagai bahan edukasi gizi masyarakat.

METODE

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi tentang bagaimana diferensiasi supervisi pada masa pandemi, sehingga kegiatan supervisi akademik tetap berjalan di SMK Muhammadiyah 2 Yogyakarta. Sumber data dalam penelitian ini yaitu kepala sekolah dan wakil kepala sekolah urusan kurikulum. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan dokumentasi. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data di lapangan adalah pedoman wawancara dan daftar check list. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif serta diuraikan dalam bentuk deskriptif. Penelitian ini menggunakan software Atlas.ti dalam melakukan analisis data. Hasil wawancara yang telah ditranskrip lalu diolah menggunakan Atlas.ti. Prosedur analisis yang digunakan yaitu dengan pendekatan studi kasus Miles & Huberman. Penelitian dimulai dengan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan verifikasi (penarikan kesimpulan).Jenis penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian campuran atau mix-method dengan metode survei cepat dengan variable dependent penelitian adalah kejadian stunting pada balita yang mana variable utamanya adalah konsumsi SKM dan KKM pada balita. Selanjutnya, dalam penelitian ini pendekatan kualitatif yang dipakai adalah dengan menggunakan metode pengumpulan data, wawancara mendalam (In-depth interview) dan observasi langsung di masyarakat.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September –Oktober tahun 2020 yang bertempat di 5 titik lokasi yaitu 1). DKI Jakarta (Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara) 2). Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi) 3). (Kab Sampang, Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep), Maluku (kota Ambon) dan NTT (Kota Kupang).Populasi dan Sampel Populasi survei adalah seluruh ibu-balita yang berada di 5 (lima) wilayah penelitian yaitu (1) DKI Jakarta (Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Utara), (2) Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kota Bekasi), (3) Jawa Timur (Kab Sampang, Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep), Maluku (kota Ambon) dan NTT (Kota Kupang). Sedangkan untuk sampelnya adalah ibu- balita yang berada di 5 (lima) wilayah penelitian yaitu DKI Jakarta (Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara), Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi), Jawa Timur (Kab Sampang, Bangkalan, Pamekasan dan Sumenep), Maluku (kota Ambon) dan NTT (Kota Kupang) yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian yaitu untuk kriteria inkulsi adalah pasangan ibu-balita dengan bayi berusia 0-59 bulan danibu bayi yang tidak mengalami penyakit serius ataupun kronis seperti kanker, HIV/Aids. Selanjutnya, Ibu balita tidak megalami gangguan mental dan yang terakhir kriteria inklusinya adalah ibu balita mampu berkomunikasi dengan baik dalam menjawab pertanyaan wawancara. Selanjutnya, untuk kriteria ekslusinya adalah ibu balita pernah menjalani perawatan instensif di fasiitas kesehatan seperti RS dan Klinik.

Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan memiliki dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan umumnya adalah untuk Mengetahui dampak pemberian SKM/MKM dan faktor lainnya terhadap kejadian stunting pada balita untuk memberikan rekomendasi sebagai dasar pengambilan kebijakan kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dan preventif menurunkan prevalensi stunting. Sedangkan untuk tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran kejadian stunting terkini pada balita di lima propinsi, mengetahui gambaran konsumsi SKM dan KKM di lima propinsi serta mengetahuai gambara faktor lain yang mempengaruhi pemberian SKM dan KKM pada balita untuk mengetahui informasi actual mengenai dampak konsumsi SKM dan KKM terhadap kejadian stunting pada balita di lima propinsi yang menjadi lokasi penelitian.

Sumber dan Teknik PengambilanData

Sebagai penelitian yang ingin mengetahui informasi terkait KKN dan KKM serta dampaknya terhadap stunting di 5 propinsi yang menjadi lokasi penelitian maka sumber daya penelitian yang diperoleh adalah secara primer yaitu diambil secara langsung dari responden survei sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi kegiatan survei. Selanjutnya, Teknik pengambilan datanya adalah dilakukan dengan teknik wawancara yaitu diambil secara langsung dari responden sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi kegiatansurvei. Adapun paparan hasil penelitian dianalisis dan dijelaskan dalam bentuk deskriptif analitik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

Hasil penelitian di Propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Jawa Barat bahwa rentang usia responden mayoritas > 25tahun dengan tingkat pendidikan mayoritas rendah (tidak sekolah –lulusan SMA). Pekerjaan ibu untuk di Jawa Barat mayoritas tidak bekerja 90 %, sementara di DKI Jakarta 79 %. Dari hasil survei diketahui juga bahwa tingkat keterdampakan keluarga responden terhadap pandemi Covid 19 terhadap faktor ekonomi cukup besar yaitu 84,1 % di Propinsi DKI Jakarta dan 90,5 % di Propinsi Jawa Barat. Sementara data yang ada di Propinsi Jawa Timur Secara umum kriteria responden di Propinsi Jawa Timur adalah ibu dengan anak usia 0-59 bulan dengan rentang usia responden < 25 tahun 15,6 %, > 25 tahun 84,4 % dan tingkat pendidikan mayoritas tidak sekolah-SMA sebesar 83,5 %. Dari sisi ekonomi penghasilan responden per bulan: < Rp 2.500.000 sebanyak 92,2 % dari 98,6 % ayah/kepala keluarga yang bekerja. Untuk responden di Propinsi Kota Ambon dan Kupang adalah ibu dengan anak usia 0-59 bulan dengan rentang usia responden mayoritas (84,4 %) adalah > 25 tahun dan berpendidikan rendah (Tidak sekolah-SMA) sebanyak 83,5 %. Penghasilan per bulan hampir 92,2 % kurang dari Rp 2.500.000 dari 98,6 % ayah yang bekerja. Selain faktor ekonomi, tingkat pengetahuan ibu terhadap SKM/KKM dan efek samping nya, ternyata mempengaruhi keputusan responden di Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat dalam memberikan SKM/KKM pada balita nya.

Responden di Jawa Barat yang memiliki pengetahuan SKM/KKM adalah susu berjumlah lebih besar daripada di DKI Jakarta. Hal ini yang menyebabkan ada 179 balita yang diberikan SKM/KKM sebagai ‘’susu’’ dalam masa pertumbuhannya, sementara di DKI Jakarta ada 162 balita. Usia terbanyak balita yang diberikan SKM di DKI Jakarta ada pada usia 3 tahun. Sementara di Jawa Barat angka tertinggi SKM/KKM diberikan di usia 2 tahunSelanjutnya, Propinsi DKI Jakarta dan Propinsi Jawa Barat bahwa rentang usia responden mayoritas > 25 tahun dengan tingkat pendidikan mayoritas rendah (tidak sekolah –lulusan SMA). Pekerjaan ibu untuk di Jawa Barat mayoritas tidak bekerja 90 %, sementara di DKI Jakarta 79 %. Dari hasil survei diketahui juga bahwa tingkat keterdampakan keluarga responden terhadap pandemi Covid 19 terhadap faktor ekonomi cukup besar yaitu 84,1 % di Propinsi DKI Jakarta dan 90,5 % di Propinsi Jawa Barat. Hasil temuan di Jawa Timur, Maluku dan NTT didapatkan bahwa pengetahuan ibu bahwa SKM adalah susu tertinggi di Jawa Timur dengan 49,4 % disusul NTT (32 %) dan Maluku (23,2 %).

Dari total balita yang mengkonsumsi SKM/KKM di Jawa Timur, Maluku dan NTT ada 105 anak dengan rentang usia 1-3 tahun. Berdasarkan hasil survei diatas, dari total 2068 responden yang disurvei di 5 propinsi menunjukkan responden mayoritas memiliki pendidikan yang relatif rendah. Sebagaimana diketahui bahwa menurut UU pendidikan No. 20 tahun 2003, dinyatakan bahwa pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Meski demikian dalam kondisi nyata, masyarakat dapat mengenyam pendidikan akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, tingkat sosial ekonomi dan faktor lingkungan. Umur masih menjadi salah satu indikator kedewasaan seseorang, diharapkan dengan semakin bertambahnya umur maka pendidikan yang didapat akan semakin banyak. Baik itu pendidikan formal maupun pendidikan non formal yang diinginkan agar ada perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. Selanjutnya perubahan perilaku didasari adanya perubahan atau penambahan pengetahuan, sikap atau keterampilannya (Notoatmodjo, 2003). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu-ibu balita yang menjadi responden penelitian ternyata banyak yang hanya mengenyam pendidikan rendah (tidak sekolah-lulus SMA). Hal ini memungkinkan pola pikir responden kurang baik mengenai pemberian asupan gizi bagi anak balitanya dibandingkan dengan orang lain yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Meskipun saat ini di semua tingkat pendidikan ibu memungkinkan ibu balita lebih dinamis dalam menerima setiap informasi, baik melalui media cetak maupun media elektronik, demikian halnya dengan permasalahan yang berkaitan dengan asupan gizi balita yang diasuhnya. Asupan gizi yang baik pada anak sering tidak bisa dipenuhi seorang anak karena disebabkan beberapa faktor. Termasuk diantaranya adalah tingkat pendidikan ibu yang mempengaruhi pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan, kondisi sosial ekonomi keluarga, ketersediaan bahan pangan, serta hubungan emosional anggota keluarga yang lain, tercermin dalam suatu kebiasaan.  Adanya factor-faktor tersebut menjadikan perlu adanya suatu perhatian dalam memberikan makanan kepada anak karena perilaku dan sikap yang terpola dalam suatu kebiasaan memberi makan kepada anak dapat mempengaruhi asupan zat-zat gizi untuk anak (Supariasa, 2012). Di sisi lain, pemenuhan asupan gizi pada balita juga sangat tergantung pada pendapatan keluarga. Pendapatan yang tinggi ini memberikan dampak yang baik bagipola pengasuhan anak balita terutama dalam pemberian asupan makanan yang baik yang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan oleh balita, sehingga didapatkan balita yang sehat. Pendapatan merupakan jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang disumbangkan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga. Pendapatan dalam kehidupan sehari-hari erat kaitannya dengan upah, gaji serta pendapatan lainnya yang diterima oleh seseorang setelah melakukan pekerjaan dalam kurun waktu tertentu (Mulyanto dan Hans, 1984).

Dari hasil survei terlihat bawa kondisi ekonomi, terlebih disaat pandemi sangat mempengaruhi responden untuk memberikan SKM/KKM kepada balita nya. Persentase kepala keluarga yang awalnya bekerja atau dapat memenuhi kebutuhan keluarganya menjadi turun drastis sejak terjadinya pandemi Covid 19, karena banyak yang mengalami PHK dari pekerjaannya ataupun terkena aturan efisiensi jam kerja. Hal ini dikuatkan dari hasil interview yang dilakukan tim YAICI di lapangan bahwa responden memberikan ‘’susu’’ untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya, agar anak nya bisa merasa kenyang dan tidak rewel. Keterbatasan dana menyebabkan responden mengambil alternatif memberikan ‘’susu’’ SKM/KKM dibanding susu yang memenuhi komposisi gizi untuk balitanya  Pengetahuan tentang SKM dan KKM Pengetahuan (knowledge) adalah suatu hal yang berasal dari pancaindra dan pengalaman yang telah diproses oleh akal budi dan timbul secara spontan. Sedangkan untuk sifat dari pengetahuan itu sendiri terdiri dari tiga hal, yaitu spontan, intuitif, dan subjektif. Selain itu pengetahuan juga bersifat benar karena sesuai dengan realitas yang ada (Suryana, 2015), menurut Sujaweni (2014) pengetahuan merupakan suatu landasan berfikir manusia dalam melakukan suatu hal yang berkaitan dengan pencarian jawaban atas pertanyaan yang ada, seperti berkaitan dengan status gizi anak atau balita. Dari 1268 responden di DKI Jakarta dan Jawa Barat, sebanyak 986 Ibu (78%) mengetahui efek samping diberikannya SKM/MKM pada balitanya, sementara 283 Ibu (22 %) tidak tahu bahwa SKM berefek samping bila diberikan pada balita. Namun demikian dari 341 ibu yang memberikan SKM pada balitanya, 100 ibu (31.8%) masih akan memberikan SKM/KKM untuk bayi/anak (lebih dikarenakan faktor ekonomi). 197 ibu (62.7%) tidak akan lagi memberikan, sementara masih ada 44 ibu (14 %) mengatakan kadang-kadang dan sesuai kebutuhan akan tetap memberikan anaknya SKM.

Sementara dari 800 responden di propinsi Jawa Timur, Maluku dan NTT 11,4 % ibu masih tetap akan memberikan SKM/KKM kepada balitanya meskipun sebanyak 474 ibu (59 %) sudah memperoleh informasi bahwa SKM/KKM tidak boleh diberikan kepada balita. Sama seperti di DKI Jakarta dan Jawa Barat, alasan ekonomi menjadi faktor utama sehingga meskipun merekasudah teredukasi bahwa SKM/KKM seharusnya tidak lagi diberikan ke balita nya namun persepsi yang sudah melekat bahwa SKM/KKM masih bisa diberikan karena masih ada kandungan susu nya. Pola asuh ibu merupakan perilaku ibu dalam mengasuh balita mereka. Sementara perilaku sendiri berdasarkan Notoatmodjo (2005) dipengaruhi oleh sikap dan pengetahuan. Pengetahuan yang baik akan menciptakan sikap yang baik, yang selanjutnya apabila sikap tersebut dinilai sesuai, maka akan muncul perilaku yang baik pula. Di masa keterbukaan informasi saat ini, pengetahuan dan informasi yang berkaitan dengan asupan gizi bisa didapatkan dari berbagai sumber baik yang didapatkan dari pendidikan formal maupun dari media (non-formal), seperti radio, TV, internet, koran, majalah, dll.

Kemampuan responden mengakses dan menerima informasi akan dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Orang dengan tingkat pendidikan yang lebih baik akan lebih mudah dalam menerima informasi daripada orang dengan tingkat pendidikan kurang. Informasi tersebut dijadikan sebagai bekal ibu untuk mengasuh balitanya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam survei ini, sumber pengetahuan responden di 5 propinsi tentang SKM/KKM banyak didapat dari televisi atau media sosial diatas 50 %, namun informasi bahwa SKM tidak boleh diberikan kepada balita sebagian besar didapatkan dari Kader kesehatan dan tenaga kesehatan. Di Propinsi DKI Jakarta responden yang mendapatkan informasi bahwa SKM tidak boleh diberikan kepada bayi dari media; baik TV/radio/media massa/media sosial hanya sekitar 16,2%, di Jawa Barat 32,8%, Jawa Timur 38,5 %, Maluku 17,6% dan NTT 17,6%. Pengetahuan adalah hasil tahu yang merupakan konsep di dalam pikiran seseorang sebagai hasil setelah seseorang tersebut melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman yang berasal dari berbagai macam sumber misalnya media massa, elektronik, buku petunjuk, penyuluhan dan kerabat dekat. Sementara menurut Yudi (2008) yang dikutip dari Mundy (1995) perhatian orang tua terhadap gizi balita akan membuat orang tua lebih mengerti akan pemenuhan gizi yang seimbang untuk balita.

Pengetahuan orang tua akan gizi balita dapat berubah sewaktu-waktu tergantung dengan apa yang mempengaruhi, seperti; pengetahuan yang didapat dari bidan desa,kader posyandu, dokter, maupun hal-hal informatif seperti media sosial yang dapat mempengaruhi pengetahuan itu sendiri, khususnya orang tua. Penyampaian informasi kesehatan melalui media televisi maupun media sosial merupakan alternatif yang paling tepat karena televisi maupun media sosial seperti facebook, instagram, youtube merupakan media elektronik dan media sosial yang bisa dilihat dan didengar oleh penontonnya. Benschofter menyatakan bahwa “pelajaran yang bisa diingat lewat media pandang dan dengar ini, setelah 3 hari bisa 65% sedangkan lewat media dengar saja hanya 10% dan lewat media pandang saja hanya 20% (dalam Mulyana dan Ibrahim, 1997:169) Tak dipungkiri bahwa saat ini informasi kesehatan juga banyak disampaikan melalui televisi baik milik pemerintah maupun swasta dan melalui akun media sosial. Meskipun pengemasan informasi kesehatan yang ditayangkan memiliki perbedaan-perbedaan namun pada intinya memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat. Fenomena ini juga dimanfaatkan oleh para produsen untuk menginformasikan produk-produk nya baik lewat iklan maupun lewat iklan terselubung dalam acara sinetron. Masih adanya beberapa produsen yang menampilkan visualisasi bahwa SKM/KKM dalam bentuk minuman 86 susu dan menampilkan bintang iklan dari anak-anak balita atau keluarga mengakibatkan persepsi yang menyesatkan pada penontonnya.

Sementara itu dari hasil survei di 5 propinsi bisa dilihat bahwa pengetahuan responden terhadap CEK KLIK sudah cukup baik. Khusus dalam membaca label yang ada dalam produk, responden sudah memiliki kesadaran yang cukup baik. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri telah menerbitkan aturan label pangan olahan, termasuk di dalamnya mengatur susu kental manis (SKM) melalui Peraturan Kepala (Perka) BPOM No.31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang sebenarnya memperjelas ketentuan label produk SKM, di mana BPOM kembali menegaskan bahwa SKM merupakan kategori produk susu. Meskipun dalam Perka BPOM Nomor 31/2018 sudah mewajibkan produsen mencantumkan beberapa hal pada label SKM agar masyarakat dapat memanfaatkan produk ini sesuai fungsinya dan mewajibkan produsen mencantumkan keterangan bahwa SKM tidak untuk menggantikan ASI, tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan, serta tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi, namun kenyataannya masih banyak responden lebih terpengaruh dengan iklan yang ada di televisi maupun di media sosial. Hal ini diperkuat dengan hasil interview tim Yaici di lapangan bahwa keputusan mengkonsumsi SKM/KKM salah satunya dari iklan yang mereka dilihat dimana dalam iklan tersebut menggunakan visualisasi gambar susu dalam gelas serta disajikan dengan cara diseduh sebagai minuman dan diminum sekeluarga.

Responden beranggapan bahwa SKM/KKM sama saja dengan susu lainnya untuk memenuhi asupan gizi balita dan keluarganya. Dari hasil survei menunjukkan bahwa meskipun pengetahuan bukan merupakan faktor langsung yang mempengaruhi status gizi anak balita, namun pengetahuan gizi ini memiliki peran yang penting. Karena dengan memiliki pengetahuan yang cukup khususnya tentang kesehatan, seseorang dapat mengetahui berbagai macam gangguan kesehatan yang mungkin akan timbul sehingga dapat dicari pemecahan masalahnya. Pola Konsumsi SKM dan KKM Total responden di DKI Jakarta dan Jawa Barat yang memberikan SKM/KKM secara rutin adalah 341 ibu dari seluruh 1268 sehingga dapat disimpulkan bahwa 1 dari 4 balita di Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat mengkonsumsi SKM setiap harinya. Sementara dari 800 responden di Jawa Timur dan NTT di dapatkan 1 dari 5 balita minum SKM/KKM setiap harinya, sementara di Maluku 1 dari 11 balita minum susu SKM/KKM setiap harinya. Frekuensi pemberian SKM ke balita di DKI Jakarta > 1 kali sehari sebesar 54 % dengan porsi pemberian > 1 gelas sehari dan takaran ≥ 3 sendok makan dalam segelas “susu” yang diberikan dalam gelas ataupun dalam botol susu. Sementara di Jawa Barat frekuensi pemberian SKM/KKM > 1 kali segelas mencapai 74 %, dengan porsi 1 gelas (54 %) dan > 1 gelas 46 % dalam sehari. Takaran pemberian SKM di Jawa Barat ≥ 3 sendokmakan/ gelas mencapai 90 %. Data survei di Jawa Timur sebanyak 96,5 % ibu memberikan minuman SKM/KKM sebanyak 1 gelas dan ada 83,3 % ibu di NTT juga memberikan 1 gelas per hari kepada balita nya. Hanya di Maluku tidak ada responden yang menjawab pertanyaan ini.

Dalam pembelian SKM/KKM, responden di DKI Jakarta dan Jawa Barat lebih senang membeli dalam bentuk kemasan sachet karena selain murah juga sudah sesuai takaran untuk sekali minum. Namun di Propinsi Jatim, Maluku dan NTT, para ibu lebih menyukai membeli dalam bentuk kaleng karena menurut mereka lebih hemat. Melihat komposisi SKM/KKM dan pola konsumsi rutin pada 341 balita di DKI Jakarta atau Jawa Barat, tentu saja akan membawa dampak pada status gizinya baik saat ini maupun ke depan. Dari hasil interview, melihat buku KIA (meski tidak semua balita dibawa ke Posyandu) serta melihat fisik balita ybs, maka didapatkan hasil bahwa pada balita yang konsumsi SKM cenderung memiliki gangguan gizi buruk dan gizi kurang. Pada beberapa balita ditemukan “sehat’’ dan memiliki berat badan yang berlebih. Untuk di DKI Jakarta 37,04 % balita yang mengkonsumsi SKM/KKM secara rutin mengalami gangguan gizi kurang sementara di Jawa Barat pada kasus yang sama ada 33 % dari total balita yang mengkonsumsi SKM. Sementara temuan kasus gizi buruk dan gizi kurang dari balita yang rutin mengkonsumsi SKM/KKM dari data hasil survei di Jawa Timur, Maluku dan NTT adalah 13 anak (16%) dalam kategori gizi buruk, 8 anak (9,9%) Gizi kurang dan balita yang obesitas ada 14 anak (17,3 %) Statusgizi merupakan indikator kesehatan yang penting karena anak usia di bawah lima tahun merupakan kelompok yang rentan terhadap kesehatan dan gizi. Gangguan gizi pada awal kehidupan akan mempengaruhi kualitas kehidupan berikutnya. Gizi kurang pada balita tidak hanya menimbulkan gangguan pertumbuhan fisik, tetapi juga mempengaruhi kecerdasan dan produktivitas ketika dewasa (Handayani, dkk, 2008). Upaya mencapai status gizi anak balita yang baik tidak terlepas dari peran orang tua khususnya ibu sebagai pengasuhkarena ibu sebagai seorang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan makan keluarga termasuk untuk anak balita sangat penting. Hal ini dapat tercermin di dalam pola pemberian makanan balita yang diterapkan atau dipraktekkan ibu kepada anak balita yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku.

Anak merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya (Proverawati, 2009) Dari hasil survei bahwa responden yang memberikan SKM/KKM pada balitanya sebagian besar karena dipengaruhifaktor pendidikan, tingkat pengetahuan dan juga faktor ekonomi keluarga. Edukasi kesehatan balita yang sebelumnya bisa diperoleh dari Posyandu, sejak ada pandemi tidak diperoleh lagi karena mayoritas Posyandu menghentikan kegiatannya. Informasi yang mudahdiakses adalah dari media sosial dan televisi. Masa balita menjadi lebih penting karena merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang. Terlebih lagi triwulan kedua dan ketiga masa kehamilan dan dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa emas (golden periode) dimana sel sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Adanya gangguan kesehatan akan membawa dampak terhadap laju tumbuh kembang tubuh anak sedangkan salah satu faktor yang dapat menentukan daya tahan tubuh seseorang anak adalah keadaan gizinya (Soetjiningsih, 2014). Karena berbagai hal diatas, maka pemerintah, organisasi sosial kemasyarakatan dan organisasi sosial lainnya yang selama ini ikut dalam upaya perbaikan gizi balita perlu melakukan pendekatan yang lebih dalam dengan mengedukasi masyarakat khususnya di daerah lokus stunting.

SKM/KKM memang bukan satu-satu penyebab terjadinya gangguan status gizi pada balita ataupun terjadinya stunting pada balita,namun konsumsi rutin SKM/KKM pada balita tetap akan membawa dampak pada tingkat kesehatan balita di masa depan. Keterbatasan dalam kegiatan survei ini banyak ditemui baik karena masih tingginya angka penularan Covid 19 saat kegiatan survei dilakukan. Kendala dalam pengambilan data ke responden seperti tidak mudahnya akses menuju lokasi dimana responden berada, tidak semua responden mau memberikan informasi yang benar (ada yang ditutup-tutupi) dan berbagai hal teknis lainnya sehingga hasil survei ini perlu dilakukan analisis dan pembahasan lagi yang lebih mendalam untuk mendapatkan data yang akurat khususnya yang terkait dengan hubungan konsumsi SKM/KKM dengan stunting, gizi kurang dan gizi buruk pada balita.

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan yang dibagi menjadi dua kategori wilayah DKI –Jawa Barat dan Jawa Timur, Maluku, NTTKesimpulan untuk kategori wilayah DKI Jakarta –Jawa barat yaitu,

1.Karakter responden DKI Jakarta & Jawa Barat > 80 % berusia > 25 tahun, tidak bekerja dan memiliki pendidikan rendah (tidak sekolah –SMA) sekitar 85-92 %. Secara ekonomi, semua responden terdampak karena pandemi Covid 19 (di DKI Jakarta 531 responden –84,1% dan di Jawa Barat 578 Responden –90.5%

2.Pengetahuan Ibu terhadap SKM dari seluruh responden (1268), ternyata di propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat Masih ada 26,9% yang mengatakan SKM adalah susu dan sejumlah ini juga memberikan SKM sebagai konsumsi rutin untuk balitanya.

3.Sementara itu 78 % ibu memiliki pengetahuan bahwa memberikan SKM secara rutin akan memberikan efek samping kepada balita di masa depannya, namun demikian masih saja ada yang tetap memberikan SKM/KKM kepada anaknya. Hal ini lebih didasarkan pada kondisi ekonomi terlebih di masa pandemi

4.Informasi tentang SKM adalah susu banyak diperoleh dari televisi dan media sosial sebanyak 51.9 %.

5.Bagi ibu yang memberikan balitanya konsumsi SKM, ternyata lebih banyak membeli dalam bentuk sachet karena lebih murah 231 ibu (64,6 %). Dalam membeli, ibu-ibu sudah sadar tentang Cek KLIK

6.Di DKI Jakarta, dari 630 ibu, sebanyak 162 Ibu (25.7%) memberikan Balita nya mengkonsumsi SKM/KKM. Ada 80 balita (60 %) di usia 0-2 tahun telah diberikan SKM oleh ibunya, sementara di Jawa Barat, dari 639 ibu, sebanyak 179 Ibu (28%) memberikan Balita nya mengkonsumsi SKM/KKM. Ada 105 balita (80.4 %) di usia 0-2 tahun telah diberikan SKM.

7.Meski telah mendapatkan informasi tentang pembatasan usia balita dalam konsumsi SKM, ada 31.8 % yang mengatakan akan tetap memberikan SKM karena selain harga murah dan anak suka rasanya. 14 % akan melihat kondisi atau sesuai kebutuhan saja dan 62.7 % tidak akan lagi memberikan SKM pada balitanya.

8.Rutin mengkonsumsi SKM juga dapat membawa gangguan status gizi pada balita. DI DKI Jakarta, pada 27 balita yang rutin mengkonsumsi SKM mengalami gizi buruk dan 60 balita mengalami kurang gizi, sementara di Jawa Barat ada 20 balita yang rutin mengkonsumsi SKM mengalami gizi buruk dan 53 balita mengalami kurang giziSementara, hasil temuan dan kesimpulan di Jawa Timur, Maluku dan NTT adalah sebagai berikut

1.Adanya temuan kasus gizi buruk dan gizi kurang yang mengkonsumsi kental manis setiap hari.

13 anak (12,1%) Gizi buruk, 8 anak (7,4%) Gizi kurang.

2. Hampir semua anak dengan status gizi mengkonsumsi SKM. Jumlah tertinggi pada balita gizi baik mengkonsumsi SKM; 33 anak (30,8%), anak dengan obesitas 14 orang (13%), Berisiko Gizi Lebih sebanyak 8 anak (7,4%), Gizi lebih sebanyak 5 anak (4,6%)

3.Ada 8 anak diberikan SKM pada usia pemberian MPASI. Konsumsi SKM tertinggipada anak usia 3 tahun sampai 3,9 th = 28 anak (26.1%), kemudian usia 4-4,9 th =26 anak (24.8%), usia 1 –1.9 tahun sebanyak 20 anak (18,6%), usia 2 –4.

4.Pengetahuan ibu terhadap SKM/KKM sebagai susu yang menyehatkan masih cukup tinggi (35,3%) atau 283 ibu dari total 800. Informasi tersebut paling banyak didapat dari iklan produk di media massa/elektronik/internet.

5.Masih ada ibu yang mendapat informasi bahwa SKM adalah susu berasal dari Tenaga medis & petugas puskesmas; yaitu sebanyak 132 ibu dari 800 ibu atau (16,5%).

DAFTAR PUSTAKA

Gibbs HD, Harvey S, Owens S, et al. 2017. Engaging experts and patients to refine the nutrition literacy assessment instrument. BMC Nutrition (2017) 3:71 DOI 10.1186/s40795-017-0190-yHallgeir K, et al. 2017. Determinants of childhood stunting in the Democratic Republic of Congo: further analysis of Demographic and Health Survei 2013-14. BMC Public Health London. Vol 18. DOI: 10.1186/s12889-017-4621-0Hoorn EV, Jaramillo E, Collins D, et al. 2016. The Effects of Psycho-Emotional and SocioEconomic Support for Tuberculosis Patients on Treatment Adherence and Treatment Outcomes –A Systematic Review and MetaAnalysis. PLOS ONE: April 28, 2016. DOI: 10.1371/journal.pone.0154095Huicho L, et al. 2017. Factors behind the success story of under-five stunting in Peru: a district ecological multilevel analysis. BMC Pediatrics (2017) 17:29 DOI 10.1186/s12887-017-0790-3Hukum online.com, Atasi Polemik Susu Kental Manis BPOM terbitkan aturan label pangan olahan, 26 Oktober 2018Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Hasil Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia Tahun 2018. JakartaKementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Situasi Balita Pendek di Indonesia. Buletein Jendela Data dan Informasi Kesehatan. ISSN: 2088-270XKementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Permenkes RI Nomor 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang: JakartaKementerian Kesehatan Republik Indonesia.2013. Permenkes RI Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan bagi BangsaIndonesiaKementerian Kesehatan Republik Indonesia.2013. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional PercepatanKismul H, Acharya P, Mapatano MA, et al. 2018. Determinants of childhood stunting in the Democratic Republic of Congo: further analysis of Demographic and Health Survei 2013–14. BMC Public Health (2018) 18:74 DOI 10.1186/s12889-017-4621-0Lemeshow, 1997. Lameshow, Stanley, et al. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Penerjemah Dibyo Pramono. Penyunting Hari Kusnanto. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, 1997Makoka dan Masibo. 2015. Is there a threshold level of maternal education sufficient to reduce child undernutrition? Evidence from Malawi, Tanzania and Zimbabwe. BMC Pediatrics (2015) 15:96 DOI 10.1186/s12887-015-0406-8Markulis P dan SatrangD. 2015. Emotional Intelligence: A Demonstration. Developments in Business Simulation and Experiential Learning, volume 42, 2015, p.184McGovern, et al. 2017. A review of the evidence linking child stunting to economic outcomes. International Journal of Epidemiology, 2017, 1171–119.doi: 10.1093/ije/dyx017Bloem MW, Pee SD, Hop LT, Khan NC, Laillou A, Minarto, Pfanner RM, Soekarjo D, Soekirman, Solon JA, Theary C, Wasantwisut

publikasi jurnal dapat di lihat di jurnal universitas pahlawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

English EN Indonesian ID