Apa yang ada dipikiran kita begitu mendengar kata Cina? Taipan? Konglomerat? Mapan dengan rumah dan mobil mewah? Tak heran, sebab masyarakat keturunan Cina memang dikenal memiliki kemampuan berbisnis dan pintar berdagang. 

Stigma tersebut mendadak sirna bila kita menengok masyarakat Cina Benteng, sebuah komunitas masyarakat Cina yang bermukim di sepanjang sungai Cisadane, Tangerang. Asal muasal Cina Benteng diduga berasal dari imigran asal Tiongkok yang mendarat pada sekitar tahun 1407 di daerah Teluk Naga, Tangerang. Imigran berikutnya di duga kebanyakan merupakan keturunan dinasti Qing dan tinggal di dekat benteng yang di bangun Belanda di tepi sungai Cisadane guna mencegah serangan dari Kesultanan Banten ke Batavia.

Ciri fisik mereka sebagai bangsa Tionghoa hampir sirna, paling yang tersisa hanya mata sipit. Kulit kuning sudah berubah menjadi hitam akibat terbakar sinar matahari di sawah, ladang atau laut. Sebelumnya mereka hidup dari bertani, berladang, menjadi nelayan. Namun sedikit demi sedikit lahan pertanian tergerus berganti pembangunan, komunitas masyarakat ini beralih kerja serabutan seperti tukang parkir atau kuli angkut barang. Kaum perempuan sebagian besar tidak bekerja, menikah dan menjadi ibu rumah tangga adalah satu-satunya pilihan yang mudah. Sebab, kebanyakan mereka berpendidikan rendah, bahkan bisa bersekolah saja sudah suatu anugerah yang patut disyukuri. 

Di sinilah kami menemukan anak-anak yang sehari-hari nya tidak mendapat asupan gizi yang cukup. Keluarga dengan ekonomi yang sangat prihatin hanya makan seadanya. Bila ada rezeki lebih, sesekali bisa memasak ikan. Selebihnya, anak-anak lebih sering mengkonsumsi ikan dan daging olahan seperti nugget, sosis dan makanan instan lainnya. Tak sedikit pula balita-balita yang mengkonsumsi kental manis selepas ASI. Praktis, harga ekonomis dan disukai anak menjadi alasan yang jamak diberikan ibu saat ditanya. 

Jum’at, 5 Februari 2021, satu minggu sebelum perayaan Imlek 2021, YAICI bersama KOPMAS, mitra pelaksana edukasi gizi untuk wilayah Tangerang berkesempatan menyusuri perkampungan di pinggir kali Cisadane ini. Kami memberikan edukasi tentang gizi anak, berbincang dan juga mendengarkan keluh kesah mereka soal kehidupan. Setahun pandemi dan penghasilan yang tidak menentu, layanan Posyandu dan berobat ke Puskesmas, serta kurangnya penyuluhan gizi untuk keluarga. 

Seorang ibu dengan anak kembar berusia 4 tahun mengaku tidak pernah ke Posyandu, tidak tahu apa itu MPASI. Beruntung kedua anak kembarnya diberi ASI, sebab 6 orang kakaknya juga mendapat ASI. Selebihnya, selepas ASI, kedua balita kembar hanya diberi 2-3 gelas kental manis rasa coklat setiap hari. Sementara menu sehari-hari tergantung apa yang ada hari itu.

Ibu lainnya, kami temui sedang menggendong anak berusia 3 tahun. Tak berbeda jauh, sang anak pun mengkonsumsi kental manis sebagai minuman harian, sehari 6 – 8 gelas. Satu kaleng kental manis putih hanya untuk konsumsi  1-2 hari saja. Ada juga seorang ibu yang mendatangi kami dengan membawa bayi yang belum genap 2 tahun. Ia bingung perihal susu yang sebaiknya diberikan untuk sang anak, sebab ia menderita TB dan dokter Puskesmas melarangnya menyusui. 

Beragam persoalan yang dihadapi masyarakat setempat, berakar pada satu persoalan: pengetahuan akan gizi keluarga dan tumbuh kembang anak sangat rendah. Mengapa ibu harus menyusui, apa itu MPASI, apa saja yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi anak?

Masyarakat etnis Cina mempercayai, tahun ini adalah tahun Kerbau Logam, yang merupakan momentum bagi semua orang untuk bangkit dan bekerja giat setelah melewati tantangan. Demikian juga bagi kami, dan segenap mitra YAICI berharap tahun ini, dan tahun-tahun selanjutnya kita dapat bekerja bersama-sama untuk melewati berbagai rintangan dalam mengedukasi masyarakat. Sebab, hanya dengan bersama-sama bergandeng tangan kita dapat melepaskan jerat gizi buruk dan stunting demi mewujudkan Generasi Emas 2045.

Galeri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

English EN Indonesian ID