Minggu, 30 Mei 2021 – Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) berkolaborasi dengan Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS) melakukan perjalanan dengan tujuan edukasi kesehatan kepada masyarakat Baduy. Meskipun cuaca saat itu cukup panas, namun langit cerah menampakkan birunya dengan indah. 

Kami  berangkat dari Jakarta ke perkampungan Baduy atau para orang Baduy lebih berkenan menyebut diri mereka sebagai “Urang Kanekes” adalah suku asli masyarakat Banten. Komunitas suku ini tinggal di Desa Kanekes. Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Atau sekitar 172 km sebelah barat Ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan ibu kota Serang. 

Mengingat masih bertambahnya angka pasien covid-19, tim yang berangkat pun hanya 2 orang untuk melakukan survey di hari pertama. Wilayah masyarakat Suku Baduy dibagi 2, yakni Baduy dalam dan Baduy Luar. Perjalanan dimulai, menuju Kampung Ciboleger, Kelurahan Bojong Menteng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten tepatnya di terminal atau pintu masuk kawasan wisata Suku Baduy melalui Ciboleger. Sesampainya disana kami menuju post untuk mengisi buku kunjungan sembari berbincang kepada pengurus setempat.

Kami sampai di lokasi Nanggerang sore hari setelah kurang lebih enam jam perjalanan. Sesampainya di lokasi, kami disambut oleh beberapa orang suku asli Baduy diantaranya Kang Sanif, Kang Sarmin, Kang Herman, Kang Jalu, dan Pak Yanda yang tertua diantaranya.

Setelah berbincang tentang rute dan kondisi jalan melalui jalur Nanggerang menuju Baduy Luar terdekat yaitu kampung Ciemes, baru setelah itu kami bermalam di Cibeo yang masuk ke dalam perkampungan Baduy Dalam.

Hari mulai sore dan beberapa  jalan terasa licin, dan lengket di sandal yang  kami pakai karena beberapa  jam sebelum kami tiba di Nanggerang habis hujan. 

Perjalanan ke Ciemes atau desa terluar Baduy Luar kami tempuh sejam dari lokasi awal memulai perjalanan dengan melalui beberapa ladang, diantaranya ladang kencur, jahe, dan lengkuas yang kami temui sudah siap panen. Selain ladang kami juga melalui sungai, beberapa jembatan yang menghubungkan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar. 

Oh…iya, perlu kami informasikan juga beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh pengunjung bila datang ke Baduy Dalam adalah tidak boleh menggunakan barang elektronik (termasuk telepon genggam), kamera, radio dsb. Kemudian dilarang menggunakan perlengkapan mandi seperti shampo, sabun, pasta gigi. Dilarang menebang pohon tanpa permisi dengan kepala suku atau adat, memakai narkoba, dan yang  terakhir di larang buang sampah sembarangan.

Dengan begitu kita hanya diperbolehkan menggunakan teknologi elektronik di Baduy Luar saja, sedangkan di Baduy dalam dilarang. Setiap harinya masyarakat Baduy Luar biasanya bekerja sebagai pedagang, pencari madu, petani, dan pemandu wisata setempat, begitu juga dengan Suku Baduy Dalam.

Saat memasuki wilayah perkampungan Baduy kita akan menemui rumah, tempat peristirahatan di ladang, bahkan lumbung padi mereka yang khas yaitu berupa bangunan dari kayu, bambu, beratap  menggunakan ijuk yang terbuat dari daun kelapa yang telah dikeringkan. Rumah Adat Baduy sering disebut dengan istilah Julang Ngapak atau ada juga yang menyebutnya Sulah Nyanda. Rumah adat Baduy merupakan simbol kesederhanaan dari masyarakatnya.

Setelah berhenti di Perkampungan Ciemes selama setengah jam, kami melanjutkan perjalanan ke Baduy Dalam melalui hutan, beberapa jalan mulai terasa terjal, naik turun, dan beberapa kali tim kami hampir jatuh dan perjalanan berhenti karena terpeleset. Memasuki daerah ke arah Baduy Dalam memang terasa berbeda udaranya karena kerapatan antar pohon menyebabkan suasana terasa lebih sejuk dan lembab.

Di perkampungan Ciemes kami meminta izin kepada Jaro (Kepala Desa), Namanya Abah Hanipah, bahwasanya kami ingin survey tentang pola asuh dan pola asupan gizi orang tua masyakat setempat. Kami menemui 1 rumah yang diisi oleh 4 kepala keluarga, dan rata-rata saat usia balita anak-anaknya diberikan kental manis sebagai pengganti ASI. Mereka tidak mengetahui jika kami menyebutnya Kental Manis, namun mereka akan paham jika ditunjukkan gambarnya atau disebutkan salah satu merek kental manis.

Setelah berjalan kaki selama dua jam kami akhirnya sampai di perkampungan Cibeo, salah satu perkampungan Baduy Dalam.  Selain daerah lainnya, Cikeusik, dan Cikartawana. Secara penampilan, suku Baduy dalam memakai baju dan ikat kepala serba putih. Sedangkan, suku Baduy luar memakai pakaian hitam dan ikat kepala berwarna biru.

Hingga saat ini masyarakat Baduy Dalam masih memegang kuat konsep pikukuh (aturan adat yang isi terpentingnya mengenai keapaadaan) secara mutlak dalam kesehariannya sehingga banyak pantangan yang masih sangat ketat diberlakukan. Hal ini berbeda dengan cara hidup masyarakat Baduy Luar yang secara garis besar sudah sedikit terkontaminasi budaya modern.

Selain yang khas dari penampilan fisik berupa ikat kepala, pakaian, rumah, bahkan perlengkapan rumah tangga mereka pun sama yaitu dari bambu dan tempurung kelapa itu sudah aturan  adat turun temurun yang  dijaga kelestariannya sampai saat ini, apabila ada yang tidak mengikuti  aturan adat dipersilahkan tinggal di Baduy Luar atau Luar Baduy, namun mereka tetap  diperkenankan silaturahmi atau datang ke keluarganya di Baduy Dalam.

Di Baduy Dalam kami tidak menemukan orang-orang yang gemuk atau kelebihan berat badan karena kemana-mana mereka harus berjalan kaki. Hal tersebut  tidak ada pilihan lainnya, karena  memang tidak alat transportasi satu pun yang kita bisa jumpai, semuanya  harus ditempuh dengan berjalan kaki. Bahkan mereka juga memilih tidak menggunakan alas kaki.

Sebenarnya, perjalanan dari jalur Nanggerang atau jalur Cijahe selama kurang lebih  dua jam adalah lebih cepat, dibandingkan melalui jalur Ciboleger yang bisa ditempuh selama enam sampai dengan tujuh jam berjalan kaki.

Di Baduy Dalam kami bermalam di rumah Kang Sanif, yang secara kebetulan keluarganya memiliki nama yang berawal dari huruf “S”. Ayahnya bernama Sadim, ibunya Sani, istrinya Sanipah, dua anak laki-laki-nya bernama Sayuti, dan Sadara, kakak laki-laki-nya bernama Sang Sang, dan adik perempuannya bernama Saera. Untuk urusan nama-nama penduduk di Perkampungan Baduy diberikan oleh Kepala Adat tertinggi yang disebut Puun.

Setelah melepas lelah, kami diajak makan malam bersama, terasa sekali suasana kekeluargaan dengan obrolan yang menghangatkan kebersamaan kami. Suasana malam itu hanya diterangi oleh beberapa lampu pelita di beberapa sudut rumah, karena memang listrik tidak diperbolehkan masuk ke perkampungan Baduy Dalam itu juga sudah aturan adat mereka.

Ayam jantan berkokok menandakan hari baru, dan bulan baru tanggal 1 Juni sudah mulai menyapa kami.  Saya melihat di jam baru pukul empat pagi, namun saya lihat ibunda dan istri Kang Sanif sudah sibuk di dapur.

Sebelum turun, kami sempat mengobrol dengan para Ambu yang sedang berkumpul berbincang-bincang. Ada sekitar 15 hingga 20 Ambu. Salah satunya memiliki balita kembar, yang usut punya usut diberikan kental manis karena Ambu merasa ASInya tidak keluar banyak. Selain Ambu balita kembar, ada juga salah satu Ambu yang juga memberikan kental manis yang didapatkan dari penjual yang datang memasuki perkampungan Baduy Dalam.

Kami bisa baru turun kembali ke Kampung Nanggerang atau Luar Baduy untuk kembali ke Jakarta jam sepuluh pagi. Kami menunggu Kang Sanif dan kawan-kawan yang menjadi pemandu jalan  menyelesaikan upacara adat. Kepercayaan mereka adalah Sunda Wiwitan. Di acara adat tersebut kami  tidak diperkenankan hadir, walaupun mau hadir harus dari tempat yang jauh. Namun, kami lebih memilih menunggu di dalam rumahnya saja.

Sesampainya kembali di Nanggerang, kami mengucapkan perpisahan dan tentunya terima kasih banyak atas kebaikan hati para warga Baduy. Tentunya kami berharap bisa datang lagi di kesempatan lain, karena bagi kami pesona Baduy begitu memikat sebagai kekayaan negeri kita yang tetap harus dijaga kemurniannya. Mereka adalah contoh nyata keselarasan hidup dengan alam. Mereka menjaga alam, alam pun menjaga mereka.

Dari perjalanan kami di Baduy Dalam dan Baduy luar, dapat kami simpulkan bahwa konsumsi kental manis masih menjadi alternatif bagi para orang tua. Informasi kental manis sebagai pengganti susu didapatkan dari informasi masyarakat luar Baduy yang memasuki kawasan tersebut yang ter-justifikasi oleh televisi, selain itu juga disana di warung hanya menyediakan kental manis sebagai rekomendasi susu, tidak ada susu bubuk atau sangat jarang.

Galeri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

English EN Indonesian ID