Pesona Baduy, Kekayaan Indonesia: Ternyata Begini, Menu Sarapan Anak di Suku Baduy Luar

Senin, 31 Mei pagi kami  berangkat dari Jakarta ke perkampungan Baduy atau para orang Baduy lebih berkenan menyebut diri mereka sebagai “Urang Kanekes” adalah suku asli masyarakat Banten. Komunitas suku ini tinggal di Desa Kanekes.

Perkampungan mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng. Atau sekitar 172 km sebelah barat Ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan ibu kota Serang. Kami sampai di lokasi Nanggerang sore hari setelah kurang lebih enam jam perjalanan.

Sesampainya di lokasi, kami disambut oleh beberapa orang suku asli Baduy diantaranya Kang Sanif yang membawa anaknya Sayuti berumur 6 tahun, yang juga membawa seorang kawan sebayanya. Lalu ada juga Kang Sarmin, Kang Herman, Kang Jalu, dan Pak Yanda yang tertua diantaranya.

Setelah berbincang tentang rute dan kondisi jalan melalui jalur Nanggerang menuju Baduy Luar terdekat yaitu kampung Ciemes, baru setelah itu kami bermalam di Cibeo yang masuk ke dalam perkampungan Baduy Dalam.

Hari mulai sore dan beberapa  jalan terasa licin, dan lengket di sandal yang  kami pakai karena beberapa  jam sebelum kami tiba di Nanggerang habis hujan.

Perjalanan ke Ciemes atau desa terluar Baduy Luar kami tempuh sejam dari lokasi awal memulai perjalanan dengan melalui beberapa ladang, diantaranya ladang kencur, jahe, dan lengkuas yang kami temui sudah siap panen. Selain ladang kami juga melalui sungai, beberapa jembatan yang menghubungkan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar. Oh…iya, perlu kami informasikan juga beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh pengunjung bila datang ke Baduy Dalam adalah tidak boleh menggunakan barang elektronik (termasuk telepon genggam), kamera, radio dsb. Kemudian dilarang menggunakan perlengkapan mandi seperti shampo, sabun, pasta gigi. Dilarang menebang pohon tanpa permisi dengan kepala suku atau adat, memakai narkoba, dan yang  terakhir di larang buang sampah sembarangan.

Saat memasuki wilayah perkampungan Baduy kita akan menemui rumah, tempat peristirahatan di ladang, bahkan lumbung padi mereka yang khas yaitu berupa bangunan dari kayu, bambu, beratap  menggunakan ijuk yang terbuat dari daun kelapa yang telah dikeringkan. Rumah Adat Baduy sering disebut dengan istilah Julang Ngapak atau ada juga yang menyebutnya Sulah Nyanda. Rumah adat Baduy merupakan simbol kesederhanaan dari masyarakatnya.

Setelah berhenti di Perkampungan Ciemes selama setengah jam, kami melanjutkan perjalanan ke Baduy Dalam melalui hutan, beberapa jalan mulai terasa terjal, naik turun, dan beberapa kali tim kami hampir jatuh dan perjalanan berhenti karena terpeleset. Memasuki daerah ke arah Baduy Dalam memang terasa berbeda udaranya karena kerapatan antar pohon menyebabkan suasana terasa lebih sejuk dan lembab.

Setelah berjalan kaki selama dua jam kami akhirnya sampai di perkampungan Cibeo, salah satu perkampungan Baduy Dalam.  Selain daerah lainnya, Cikeusik, dan Cikartawana.

Secara penampilan, suku Baduy dalam memakai baju dan ikat kepala serba putih. Sedangkan, suku Baduy luar memakai pakaian hitam dan ikat kepala berwarna biru.

Hingga saat ini masyarakat Baduy Dalam masih memegang kuat konsep pikukuh (aturan adat yang isi terpentingnya mengenai keapaadaan) secara mutlak dalam kesehariannya sehingga banyak pantangan yang masih sangat ketat diberlakukan. Hal ini berbeda dengan cara hidup masyarakat Baduy Luar yang secara garis besar sudah sedikit terkontaminasi budaya modern.

Selain yang khas dari penampilan fisik berupa ikat kepala, pakaian, rumah, bahkan perlengkapan rumah tangga mereka pun sama yaitu dari bambu dan tempurung kelapa itu sudah aturan  adat turun temurun yang  dijaga kelestariannya sampai saat ini, apabila ada yang tidak mengikuti  aturan adat dipersilahkan tinggal di Baduy Luar atau Luar Baduy, namun mereka tetap  diperkenankan silaturahmi atau datang ke keluarganya di Baduy Dalam.

Di Baduy Dalam kami tidak menemukan orang-orang yang gemuk atau kelebihan berat badan karena kemana-mana mereka harus berjalan kaki. Hal tersebut  tidak ada pilihan lainnya, karena  memang tidak alat transportasi satu pun yang kita bisa jumpai, semuanya  harus ditempuh dengan berjalan kaki. Bahkan mereka juga memilih tidak menggunakan alas kaki.

Sebenarnya, perjalanan dari jalur Nanggerang atau jalur Cijahe selama kurang lebih  dua jam adalah lebih cepat, dibandingkan melalui jalur Ciboleger yang bisa ditempuh selama enam sampai dengan tujuh jam berjalan kaki.

Di Baduy Dalam kami bermalam di rumah Kang Sanif, yang secara kebetulan keluarganya memiliki nama yang berawal dari huruf “S”. Ayahnya bernama Sadim, ibunya Sani, istrinya Sanipah, dua anak laki-laki-nya bernama Sayuti, dan Sadara, kakak laki-laki-nya bernama Sang Sang, dan adik perempuannya bernama Saera. Untuk urusan nama-nama penduduk di Perkampungan Baduy diberikan oleh Kepala Adat tertinggi yang disebut Puun.

Setelah melepas lelah, kami diajak makan malam bersama, terasa sekali suasana kekeluargaan dengan obrolan yang menghangatkan kebersamaan kami. Suasana malam itu hanya diterangi oleh beberapa lampu pelita di beberapa sudut rumah, karena memang listrik tidak diperbolehkan masuk ke perkampungan Baduy Dalam itu juga sudah aturan adat mereka.

Ayam jantan berkokok menandakan hari baru, dan bulan baru tanggal 1 Juni sudah mulai menyapa kami.  Saya melihat di jam baru pukul empat pagi, namun saya lihat ibunda dan istri Kang Sanif sudah sibuk di dapur.

Kami bisa baru turun kembali ke Kampung Nanggerang atau Luar Baduy untuk kembali ke Jakarta jam sepuluh pagi. Kami menunggu Kang Sanif dan kawan-kawan yang menjadi pemandu jalan  menyelesaikan upacara adat. Kepercayaan mereka adalah Sunda Wiwitan. Di acara adat tersebut kami  tidak diperkenankan hadir, walaupun mau hadir harus dari tempat yang jauh. Namun, kami lebih memilih menunggu di dalam rumahnya saja.

Sesampainya kembali di Nanggerang, kami mengucapkan perpisahan dan tentunya terima kasih banyak atas kebaikan hati para warga Baduy. Tentunya kami berharap bisa datang lagi di kesempatan lain, karena bagi kami pesona Baduy begitu memikat sebagai kekayaan negeri kita yang tetap harus dijaga kemurniannya. Mereka adalah contoh nyata keselarasan hidup dengan alam. Mereka menjaga alam, alam pun menjaga mereka.

Sekali lagi terima kasih dan sampai jumpa Baduy… 👣

Tags: No tags

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *