Hingga saat ini, Bogor masih menghadapi kebiasaan masyarakat yang menikahkan anak di usia dini. Berdasarkan data yang dihimpun, pada catatan Pengadikan Agama Cibinong menunjukkan kasus dispensasi kawin pada tahun 2019 sebanyak 136 orang, dan pada 2020 naik menjadi 255 orang.
Bupati Bogor Ade Yasin pada pertengahan 2020 yang lalu mengakui pernikahan anak masih menjadi pekerjaan rumah Pemkab Bogor. Sebelumnya, United Nations Population Fund (UNFPA) juga telah memprediksi akan terjadi 13 juta perkawinan anak di dunia pada rentang waktu 2020-2030 atau 10 tahun ke depan, akibat pandemi covid-19.
Fenomena meningkatnya praktik perkawinan anak ini terjadi akibat kemiskinan serta minimnya informasi pada anak tentang kesehatan reproduksi seksual. Hal ini tentu saja mengakibatkan dampak buruk. Pernikahan anak di usia dini belum tentu bisa membawa keluarga keluar dari desakan ekonomi, melainkan justru menciptakan persoalan ekonomi baru bagi keluarga. Selain itu, anak sendiri belum matang secara organ reproduksi, sehingga berisiko tinggi saat melahirkan.
Kamis, 25 Februari kemarin, YAICI berkesempatan melakukan edukasi gizi di Kp. Angsana II desa Cibeber II, Leuwiliang, Kab. Bogor. Bersama PP Aisyiyah setempat, edukasi dilakukan dengan dihadiri kader Posyandu dan juga masyarakat setempat, khususnya ibu dengan balita. Kp. Angsana juga merupakan wilayah monitoring PP Aisyiyah wilayah Bogor.
Lina, kader PP Aisyiyah sekaligus fasilitator edukasi gizi kali itu menceritakan, Cibeber sebelumnya merupakan salah satu desa tertinggal di kab Bogor. “Tapi sejak beberapa tahun belakangan ini, dengan pembangunan infrastruktur jalan, memudahkan akses masyarakat, sekarang sudah mulai maju dan keluar dari kelompok desa tertinggal,” jelas Lina.
Cibeber II merupakan desa yang indah. Di sini pula terdapat Bukit Bintang, kawasan wisata yang menjadi incaran milenial untuk berburu foto. Dari ketinggian Bukit Bintang inilah para penyuka fotografi berburu foto keindahan Bogor dari ketinggian. Seperti namanya, Bukit Bintang adalah tempat dimana pengunjung masih dapat menikmati kerlap kerlip bintang tanpa bias lampu-lampu ataupun polusi.
Meski desa ini sudah mengalami banyak perkembangan, tapi kesehatan ibu dan anak masih menjadi informasi penting yang harus selalu disampaikan kepada masyarakat setempat. Sebab, pernikahan anak masih menjadi hal yang lumrah. Salah satunya Neng Marwah, yang masih berusia 24 tahun tapi sudah memiliki 3 anak yang masih balita. Anak yang paling tua berusia 6 tahun, anak kedua berusia 4 tahun dan yang ke tiga baru akan menginjak 2 tahun. Ia menikah di usia 18 tahun, dan sang suami bekerja sebagai buruh serabutan.
Neng Marwah mengaku tidak tahu alasannya menikah di usia yang masih belia. Menurutnya, 18 tahun adalah usia yang wajar di kampungnya bagi perempuan untuk menikah. “Ya menikah saja, sudah ada calonnya. Di sini sudah biasa,” ujar Neng Marawah dengan logat Sunda yang kental.
Sayangnya, meski pernikahan di usia dini adalah hal yang wajar bagi masyarakat setempat, namun mereka tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kesiapan menjadi ibu. Neng Marwah sendiri hingga saat ini masih tidak paham apa saja asupan gizi yang baik untuk anak dan apa yang seharusnya tidak diberikan kepada anak.
“Makannya biasa. Lahirnya minum ASI juga ditambah susu warung cap enak. Kalau makannya lahap, makan apa yang kita masak, tahu, tempe, sosis,” ujar Neng Marwah menjelaskan apa saja yang biasa dikonsumsi anaknya. Susu warung yang dimaksud adalah kental manis, susu yang seharusnya tidak dikonsumsi anak, tapi malah menjadi asupan sehari-hari ke tiga anak Neng Marwah.
Tak berbeda jauh dengan Neng Mawarwah, Sarmi, Nuri, Riri yang ditemui di kp Angsana juga biasa memberikan buah hatinya kental manis setelah ASI. Ditanya alasannya, harga yang ekonomis dan juga praktis menjadi alasan para ibu muda ini memberikan kental manis untuk anaknya. Selain itu, penyebutan susu kental manis menjadikan masyarakat beranggapan bahwa susu jenis kental manis tersebut dapat diminum oleh anak.
“Mereka menikah di usia yang masih belia, menjadi ibu tanpa memiliki pengetahuan tentang 1000 HPK, belum lagi organ reproduksi yang belum siap. Masyarakat miskin edukasi, miskin pengetahuan dan akhirnya akan sulit keluar dari rantai kemiskinan,” ujar Lina.
Galeri