Kisruh Penerimaan Siswa Baru Bukti Nyata Bobroknya Sistem Pendidikan

Dunia Pendidikan akhir-akhir ini menjadi sorotan akibat kisruhnya sistem penerimaan siswa baru di sejumlah daerah. Kekisruhan ini sejatinya terjadi akibat sistem zonasi yang diterapkan sejak 2017. Zonasi sendiri adalah sistem yang dibuat oleh kementerian Pendidikan dan kebudayaan untuk menyeleksi peserta didik setiap tahun ajaran baru agar dapat bersekolah sesuai dengan area domisili.

 Secara Bahasa pengertian zonasi dimaknai sebagai pembagian atau pemisahan suatu area menjadi beberapa bagian. Pertama kali diterapkan zonasi ini bertujuan untuk mengubah paradigma tentang  sekolah unggulan dan agar anak-anak dengan nilai akademik baik agar tidak mencari sekolah jauh dari lokasi tempat tinggalnya.  Regulasi zonasi dalam PPDB mengatur sekolah milik pemerintah yang mana sekolah wajib menerima calon peserta didik yang bertempat tinggal dekat dengan rumah  paling sedikit 90% dari total peserta didik.

Konsep sistem zonasi ini diklaim mampu memberikan dampak baik pada pemerataan Pendidikan. Hal ini dikarenakan zonasi dipercaya dapat mendorong seluruh sekolah milik pemerintah agar dapat meningkatkan kualitas sistem Pendidikan dan pengajaran di dalamnya. Meski demikian, sejak pertama PPDB diberlakukan masih banyak permasalahan yang hadir dan belum terselesaikan sebagai implikasi masih bobroknya sistem pendidikan nasional.

Ketersebaran Sekolah Tidak Merata dan Fasilitas Sarana Prasarana yang buruk

Sistem zonasi yang menuntut para peserta didik untuk bersekolah dekat dengan lokasi tempat tinggalnya secara faktual tidak didukung dengan jumlah sekolah yang tidak tersebar secara merata. Misal, dalam satu Kecamatan hanya ada satu sekolah, sedangkan di Kecamatan lain ada dua hingga tiga sekolah. Hal ini membuat satu-satunya sekolah yang ada pada kecamatan tersebut kelebihan peserta didik hingga 50%.

Kasus ini diperburuk dengan kualitas sarana prasarana yang tidak layak. Tidak siapnya sarana prasarana yang nampak membuat psikologis orang tua peserta didik engga untuk memasukan anaknya ke sekolah tersebut. Selanjutnya, dampak dari buruknya sarana prasarana ini tentu akan memberikan dampak buruk kepada proses pembelajaran. Sebagai contoh, jika ada dua sekolah yang mana satu masuk hitungan zonasi namun dengan fasilitas seadanya dan yang kedua tidak tapi memiliki fasilitas yang lebih lengkap seperti ruang kelas yang ramah anak, laboratorium penunjang serta perpustakaan lengkap, tentu para orang tua akan memasukan anaknya ke sekolah diluar zonasinya.

Kualitas Pendidikan dan Pengajaran yang Sama Buruknya dengan Fasilitas.

Permasalahan kedua tentang zonasi tidak berbeda jauh dengan permasalahan pertama, yaitu kualitas pendidikan dan pengajaran yang sama buruknya dengan fasilitas. Tujuan awal zonasi yang diterapkan adalah untuk menghilangkan stigma sekolah favorit ini tentu harus ditopang dengan baiknya kualitas sekolah pada area zonasi tersebut. Kualitas pendidikan dan pengajaran yang dimaksud termasuk kualitas guru, metode pembelajaran yang dipakai, kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler.

Paradigma sekolah favorit sendiri sejatinya hadir karena adanya ketimpangan yang terjadi diantara satuan pendidikan milik pemerintah baik di tingkat TK, SD, SMP dan SMA. Faktor ketimpangan inilah yang sejak lama membentuk persepsi para orang tua bahwa mereka tidak bisa memasukan anaknya ke sembarang sekolah atau dalam arti lain harus memasukan anaknya ke sekolah favorit. Hal ini lumrah dilakukan para orang tua karena sudah pasti orang tua ingin memberikan pendidikan terbaik untuk anaknya.

Ketimpangan ini banyak terjadi sebagai contoh masih banyak sekolah di daerah tertentu yang menyelenggarakan proses pendidikannya dengan asal-asalan. Peserta didik banyak yang dianggap hanya sebagai objek pendidikan semata untuk hanya masuk kelas dan diberikan tugas. Tanpa diberikan stimulus pendidikan yang berarti dan sesuai dengan amanat dari SISDIKNAS yang menginginkan insan yang cendekia dan berakhlak mulia dari hasil pendidikan itu sendiri.

Lebih jauh, masih banyak pula sekolah yang tidak memiliki program intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang jelas. Tidak adanya penopang bagi peserta didik untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Sehingga membuat banyak potensi generasi muda Indonesia yang terbuang sia-sia.

Praktik Curang “jual beli kursi” sekolah dan KK Palsu.

Sekolah sebagai salah satu satuan pendidikan yang menjadi representasi pertama kata pendidikan itu sendiri dalam kasus zonasi, ternyata malah menjadi sumber masalah. Meski tidak semua sekolah berlaku demikian, namun praktik curang yang dilakukan salah satu sekolah sangat jelas dapat mencoreng nama baik pendidikan nasional. Kecurangan ini dilakukan secara sengaja oleh oknum dari pejabat satuan pendidikan tersebut.

Pada kasus zonasi, praktik curang sekolah yang sering kali ditemukan adalah jual beli kursi. Jual beli kursi yang dimaksud adalah agar calon peserta didik bisa mendapatkan kuota disekolah yang dituju. Kecurangan ini sejatinya sudah terjadi sejak lama dan belum terselesaikan hingga sekarang.  Mirisnya, praktik curang jual beli kursi ini diperparah dengan adanya zonasi.

Sistem zonasi yang sejatinya memiliki tujuan baik ini disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab pada tataran pemegang jabatan satuan pendidikan. Sebagai contoh, karena sistem zonasi yang masih membolehkan sebanyak 10% penerimaan siswa dari luar daerah zonasinya, maka oknum jahat ini memanfaatkan hal tersebut dengan menjual kuota tersebut bagi siapa yang berani membayar lebih. Padahal, presentasi ini ditujukan untuk para peserta didik yang memang membutuhkan karena bisa jadi di daerahnya belum ada sekolah milik pemerintah sehingga mengharuskan peserta didik ini masuk ke sekolah lain di luar zonanya.

Tidak hanya sekolah, praktik curang juga dilakukan dari pihak calon peserta didik. Banyak ditemukan dilapangan adanya praktik migrasi kartu keluarga bahkan parahnya adanya kartu keluarga palsu! Kecurangan ini disinyalir hadir akibat keinginan orang tua yang memaksa memasukan anaknya ke sekolah favorit yang tidak ada pada area zonasinya. Kecurangan ini dilakukan karena syarat administrasi dari PPDB adalah kartu keluarga sebagai bukti bahwa benar adanya calon peserta didik masuk ke sekolah sesuai dengan area domisilinya.

Permasalahan PPDB Zonasi adalah Bukti Nyata Buruknya Sistem Pendidikan Nasional.

Banyak pelanggaran yang terjadi dalam PPDB Zonasi ini jelas tidak dapat dibenarkan. Hal ini juga sangat jelas mencederai tujuan mulia pendidikan. Namun demikian, segala permasalahan ini adalah bukti nyata bahwa sistem pendidikan nasional masih pada kualitas yang buruk. Parahnya, bobroknya kualitas pendidikan tersebut hingga saat ini belum diselesaikan dengan baik. Serta menjadi bukti bahwa pemerintah belum serius untuk menyelesaikan masalah pendidikan yang ada.

Masalah zonasi sangat berkaitan dengan pemerataan dan koordinasi yang buruk antara pusat dan daerah. Hal ini karena jika pemerataan pendidikan sudah tercapai maka seharusnya zonasi akan menjadi suatu solusi yang berjalan dengan baik sesuai tujuannya. Selain itu, jika koordinasi antara pusat dan daerah berjalan optimal maka seharusnya anggaran pendidikan yang diberikan di tiap-tiap daerah dapat dioptimalkan untuk fasilitas sarana prasarana, peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidikan yang akan berdampak baik pada pendidikan itu sendiri sehingga sistem zonasi akan dapat mewujudkan cita-cita pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *