Makassar, Rabu 26 Juni 2019 Dalam peringatan Hari Anak Nasional 2019 yang dilaksanakan di Lapangan Karebosi, Makassar Sulawesi Selatan pada Juli lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemeneg PPA) mengangkat slogat “Kita Anak Indonesia Kita Anak Gembira”. Slogan tersbeut sekaligus menegaskan anak gembira yang berarti tidak sakit, ada unsur kecerdasan serta anak dapat belajar dengan riang.
Sebagaimana diketahui, tujuan perayaan hari anak adalah memunculkan kepedulian semua pihak untuk mewujudkan lingkungan yang berkualitas bagi anak. Sebab, anak merupakan harapan dan investasi bangsa Indonesia dimasa depan. Kualitas anak-anak saat ini menentukan Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat atau lemah. Oleh karena itu, fondasi kesehatan anak harus dibangun sejak dini untuk menghasilkan generasi yang sehat dan berkualitas.
Mengacu pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, yang menunjukan adanya perbaikan status gizi pada balita di Indonesia, diantaranya proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%. Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%. Meski demikian, WHO masih mengkategorikan Indonesia sebagai Negara darurat gizi buruk. Sebab ambang batas toleransi stunting yang ditetapkan WHO adalah 20% dari jumlah keseluruhan balita.
Di Sulawesi Selatan, stunting pun masih menjadi persoalan serius yang harus ditangani pemerintah dan masyarakat setempat. Sulawesi Selatan bahkan menempati urutan ke-4 yang memiliki prevalensi stunting tinggi di Indonesia, setelah NTT, NTB dan , Sulawesi Tenggara, yaitu Baduta mencapai 29,9 persen dengan kategori 17,1 persen pendek dan 12,8 persen sangat pendek. Sementara Balita 30,1 persen. Berdasarkan sebaran wilayah, stunting tertinggi ditemukan di Kabupaten Enrekang dan Bone.
Penyebabnya adalah bukan hanya faktor kemiskinan atau daerah yang terisolir, tapi juga karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan makanan dan minuman yang bergizi untuk anak. Fakta pengetahuan masyarakat yang rendah terlihat dari banyaknya kasus gizi buruk akibat kesalahan orang tua memberi asupan makanan pada anak. Di tengah kemajuan teknologi, arus informasi diterima masyarakat tanpa filter. Masyarakat juga setiap saat terpapar iklan yang belum teruji kebenarannya. Jika tidak dibekali dengan pengetahuan yang tepat, maka masyarakat akan menjadi konsumen tanpa mengetahui baik buruk produk yang dikonsumsinya.
Arif Hidayat,
Ketua Harian YAICI mencontohkan iklan susu kental manis sebagai salah satu iklan yang telah sekian abad menyesatkan persepsi masyarakat. “SKM yang sejak jaman kolonial hingga milenial, diiklankan sebagai minuman susu untuk bayi dan pertumbuhan anak, telah membentuk persepsi masyarakat bahwa SKM adalah susu bernutrisi. SKM memiliki kandungan gula yang tinggi yaitu 20gram persekali saji/1 gelas dengan nilai protein 1 gram, lebih rendah dari susu lainnya. Padahal, peruntukan SKM hanyalah sebagai bahan tambahan makanan dan minuman atau topping. Karena itu, perlu pengawasan terhadap promosi dan penggunaan SKM oleh masyarakat,” jelas Arif Hidayat.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah mengatur label dan iklan SKM melalui PerBPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, pada pasal pasal 54 dan 67 huruf W dan X. Pasal 54 memuat kewajiban produsen untuk mencantumkan tulisan pada label yang berbunyi:
Perhatikan!
Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu
Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan
Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi.
Sementara pasal 67 butir W memuat larangan berupa pernyataan/visualisasi yang menggambarkan bahwa susu kental dan analognya disajikan sebagai hidangan tunggal berupa minuman susu dan sebagai satu-satunya sumber gizi. Butir X memuat larangan pernyataan/visualisasi yang semata-mata menampilkan anak di bawah usia 5 (lima) tahun pada susu kental dan analognya.
Sepuluh bulan sejak peraturan BPOM tersebut dikeluarkan, mulai terlihat perubahan yang dilakukan oleh produsen, menyangkut label maupun iklan dan promosi. Penyebutan kata ’susu’ serta visualisasi susu di dalam gelas yang sebelumnya menempati porsi terbesar pada label SKM, sekarang mulai berganti dengan gambar makanan. ”Kami mengapresiasi BPOM yang telah tegas mengeluarkan aturan, juga apresiasi terhadap produsen yang dalam waktu singkat menyesuaikan label dan pesan yang disampaikan dalam iklannya, bahwa SKM bukanlah susu,” jelas Arif.
Dra. Adila Pababbari, Apt.,MM,
Fungsional Ahli Madya Farmasi dan Makanan Balai POM Provinsi Sulawesi Selatan
yang hadir pada kesempatan itu mengatakan BPOM tidak hanya mengawasi peredaran makanan, namun juga melakukan pengawasan terhadap iklan. “Pada 2017 BPOM menarik 3 iklan SKM yang ditayangkan karena tidak sesuai dengan yang di registrasi. Tiga iklan tersebut karena menyebutkan bahwa produk SKM berpengaruh terhadap energy serta adanya anak-anak yang meminum SKM secara langsung, padahal tidak boleh, ” Jelas Adila.
Sebelum sebuha iklan produk ditayangkan, produsen harus melakukan registrasi iklan di BPOM. BPOM kemudian memeriksa materi iklan apakah sesuai dengan produk. Pelanggaran terjadi saat produk beredar, iklan yang ditayangkan berbeda dengan yang diregistrasi oleh BPOM. “Memang tidak ada sanksi yang dapat diberikan, tapi kami meminta produsen untuk menarik kembali iklan tersebut dan mengganti dengan iklan yang sudah teregistrasi di BPOM,” jelas Adila.
Dalam rangka memberikan edukasi gizi dan cara bijak menggunakan susu kental manis kepada masyarakat, Yayasan Abhiparaya Insan Cendikia Indonesia (YAICI), bersama Pengurus Pusat Muslimat NU menjalin kerjasama melaksanakan edukasi bijak mengkonsumsi susu kental manis di sejumlah kota di Indonesia diantaranya Lampung, Surabaya, Semarang dan Makassar. Edukasi diadakan dalam bentuk talkshow dan kreasi makanan sehat bergizi.
Dr. Ir. A. Majdah M. Zain, M. Si.
Ketua Wilayah Muslimat NU Sulsel
menghimbau agar ibu sebagai pendidik utama di keluarga harus sehat dan juga cerdas. “Kesehatan keluarga harus dimulai terlebih dahulu dari ibu yang sehat. Ibu juga harus teredukasi tentang gizi agar tidak salah memberi asupan gizi, seperti susu kental manis yang seharusnya adalah topping makanan, jangan sampai diberikan sebagai minuman untuk anak-anak. Tugas kita adalah mewujudkan anak-anak Indonesia yangs ehat, kuat dan cerdas sehingga bonus demografi dimasa mendatang menjadi beban bagi bangsa kita,” jelas Majdah.
Menurut dr. Hj. Erna Sofihara
Ketua Bidang Kesehatan PP Mulsimat NU
mengatakan, susu kental manis (SKM) itu bukan susu hanya untuk topping makanan. Otomatis SKM itu gula “Dan gula itu mengenyangkan jadi untuk mengonsumsi makanan yang lain itu jadi malas. Otomatis makanan yang masuk akan berkurang, itu menyebabkan anak selain stunting, gizi buruk di samping menyebabkan dibetes di keduan hari, atau bahkan si anak itu terlalu gemuk” kata Erna Sofihara kepada media di Makassar beberapa waktu lalu.