Konsumsi kental manis oleh anak kembali menjadi perhatian sejak Presiden Joko Widodo mengingatkan para ibu untuk tidak memberikan kental manis sebagai minuman anak. Hal itu dipicu oleh postingan seorang ibu yang memberikan kental manis untuk bayinya yang berusia 7 bulan. Si ibu juga mengatakan bayinya BAB hingga 10 kali dalam sehari.  

Berselang 2 bulan, dunia maya kembali ramai membicarakan Kenzi asal Bekasi yang beratnya mencapai 27 kilo di usianya yang baru 16 bulan. Berdasarkan pengakuan Fitri, sang ibu, Kenzie telah mengkonsumsi kental manis sejak usia 12 bulan. Alasannya karena penghasilan sang suami yang bekerja sebagai kuli serabutan hanya cukup untuk membeli susu jenis kental manis. 

Diketahui Kenzie bisa meminum 6 botol susu kental manis dalam kurun waktu 12 jam.  “Malem tiga kali, sebelum mau tidur jam 12, dan sekitaran subuh jam 4. Selama 12 jam itu 6 botol kecil,” jelas Fitri, sang Ibu. Kenzi saat ini berada dalam pengawasan tim dokter RS Cipto Mangunkusumo. 

Dokter spesialis anak RS Permata Depok, dr. Agnes Tri Harjaningrum, SpA mengatakan meski disinyalir Kenzi juga memiliki kelainan genetik yang memicu obesitas, namun pemberian kental manis pada bayi jelas tidak dibenarkan. Apalagi dengan takaran dan frekuensi yang cukup tinggi. 

“Kental manis bukan pengganti susu harian, kapan boleh? kalau di bawah 5 tahun nggak boleh minum SKM. BPOM juga menjelaskan SKM itu untuk topping bukan susu, jadi pemberian ASI dibutuhkan anak 6 bulan sampai setahun,” jelas dr Agnes.

Jika kita melihat beberapa tahun kebelakang, pemberian kental manis yang berakibat fatal   telah kerap kali terjadi. Di tahun 2018, seorang anak berusia 1 tahun bernama Vania, yang mengkonsumsi susu kental manis sejak berumur 2 bulan. Menurut pengakuan Ibu kandung Vania, Lipa, anaknya diberi susu kental manis karena Air Susu Ibu (ASI) Lipa sudah mulai berkurang. 

Ia juga sempat menceritakan pada awal konsumsi kental manis, anaknya terlihat sehat dan gemuk. Namun lama kelamaan, kulit Vania mulai melepuh dan tidak bisa bergerak. Sejak itulah lama kelamaan berat badan Vania mulai berkurang hingga akhirnya didiagnosis gizi buruk. 

Pada saat itu, kasus tersebut terbilang baru di dunia kesehatan, dan akhirnya menjadi perhatian khusus. Bermula dari ketidaktahuan orang tua bahwa kental manis tidak boleh diberikan kepada anak, apalagi bayi dibawah usia 1 tahun.

Selain Vania, di tahun yang sama juga terdapat kasus anak meninggal akibat gizi buruk karena konsumsi kental manis. Anak tersebut bernama Arisandi yang saat itu berusia 10 bulan, asal Konawe, Sulawesi Tenggara.

Arisandi mengonsumsi susu kental manis sejak berusia 4 bulan. Setelah beberapa bulan, ia mengalami gejala luka-luka pada kulit dan alergi akibat kekurangan nutrisi. Meski sudah mendapat pertolongan medis, namun nyawanya tetap tidak tertolong.

Di tahun 2023 ini, setelah viral kasus Kenzi, baru-baru ini juga viral terkait kader posyandu di Desa Banjang, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur yang memberikan kental manis pada paket makanan tambahan untuk anak stunting. 

Kasus tersebut membuktikan buruknya komunikasi lintas sektor. Sebagaimana diketahui Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan garda terdepan pemantauan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Kader Posyandu pun mestinya memiliki bekal pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi masyarakat. 

Obesitas di usia dini yang dialami Kenzie merupakan salah satu bukti lemahnya fungsi Posyandu di masyarakat. Deteksi dini terhadap tumbuh kembang anak, serta monitoring pengasuhan anak oleh orang tua tidak optimal. Maka tidak heran bila publik kembali mempertanyakan, bagaimana pembekalan yang diberikan terhadap kader posyandu oleh institusi terkait.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

English EN Indonesian ID