Kabar sejumlah anak di Ponorogo, Tasikmalaya dan Bekasi dilarikan ke Puskesmas setelah mengkonsumsi chiki ngebul cukup mengejutkan. Tak hanya sekedar bergejala, sejumlah anak malahan menderita lambung bocor setelah mengkonsumsi panganan ringan berwarna warni ini.
Nitrogen cair (LN2), biasa disebut juga dengan nama semen beku, adalah nitrogen dalam bentuk cair. Cairan ini tidak berwarna, tidak berbau, dan memiliki titik didih yang sangat rendah, sekitar -198 derajat Celsius. Zat ini biasanya disemprotkan sebagai topping pada snack seperti ciki-cikian ataupun crackers yang menimbulkan efek berasap dan sedikit dingin.
Sensasi inilah yang disuka anak-anak. Tentu saja, apa yang disukai anak-anak merupakan peluang bagi dunia usaha. Dengan modal tak lebih dari 10 juta perbulan, estimasi keuntungan yang diperoleh minimal bisa mencapai 5 juta/ bulan. Namun, yang tak disadari adalah bahaya dibalik snack ringan yang sedang viral tersebut.
Penambahan nitrogen cair pada makanan yang tidak sesuai prosedur ternyata dapat menyebabkan gangguan kesehatan atau keracunan pangan. Pasca temuan sejumlah anak keracunan nitrogen cair tersebut, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mengeluarkan rekomendasi untuk tidak menggunakan nitrogen cair pada makanan.
Sangat disayangkan, dalam hal ini pemerintah sekedar mengeluarkan rekomendasi, menghimbau ataupun melarang penggunaan nitrogen cair. Padahal Direktur Penyehatan Lingkungan Kemenkes Anas Ma’ruf mengatakan nitrogen cair memang bukan bahan pangan. Sayangnya, memang hingga saat ini tidak ada peraturan Menkes yang mengatur penggunaan nitrogen cair pada bahan pangan. Di sisi lain, lanjut dia, peraturan Kepala BPOM mengizinkan nitrogen cair sebagai zat penolong.
Pertanyaannya adalah, jika memang nitrogen cair bukan untuk bahan pangan, bagaimana pengawasan terhadap penggunaannya? Nitrogen cair bahkan sangat mudah diperoleh bahkan melalui pembelian online di market place. Sudah bukan hal baru lagi kita menyaksikan sikap pemerintah yang cenderung acuh terhadap masyarakat.
Terkait kasus ini misalnya. Kehadiran snack ringan dengan sensasi ngebul ini sudah ramai sejak beberapa tahun yang lalu. Sejak awal kehadirannya, semestinya pemerintah sudah menyadari adanya penggunaan zat yang bukan bahan pangan. Namun, seperti yang kita lihat bersama, bahkan hingga ditemukan korban, pemerintah hanya sekedar mengeluarkan himbauan.
Bukan kali ini saja pemerintah merespon santai masyarakat. Sebelumnya pada kasus etilen glikol di obat sirup anak. Pemerintah baru terlihat bergerak setelah ada dorongan publik di sosial media. Padahal sudah ada ratusan anak yang terpapar racun dari etilen glikol bahkan sampai ada yang meninggal dunia akibat gagal ginjal yang disebabkan oleh kandungan etilen glikol pada obat batuk anak.
Beberapa tahun sebelumnya, pemerintah juga tidak menganggap serius persoalan konsumsi kental manis yang tidak diatur penggunaannya. Padahal sudah jelas, produk turunan susu ini mengandung gula yang sangat tinggi namun dengan zat gizi yang sangat rendah. Tapi, selama bertahun-tahun produk ini menjadi konsumsi harian balita tanpa adanya kekhawatiran pemerintah. Padahal, angka kejadian diabetes anak dan remaja terus meningkat.
Himbauan dan rekomendasi seolah menjadi tameng bagi pemerintah berlindung dibalik lemahnya pengawasan dan tindakan, terutama pada saat terjadi peristiwa etilen glikol beberapa waktu lalu. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan terulang lagi pada zat pangan dan/atau zat kimia lainnya jika tidak menjadi perhatian khusus pemerintah dalam pembenahan pengawasan obat dan makanan.