rilis foto

Aksi 17 Bidan di Jawa Barat Mengedukasi Masyarakat Agar Tak Salah Berikan Kental Manis untuk Anak

BANDUNG – Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Provinsi Jawa Barat menggelar edukasi gizi untuk masyarakat di wilayah Bandung Raya. Edukasi yang disampaikan secara interaktif tersebut dilakukan langsung oleh 17 bidan yang menjangkau lebih dari 1.000 ibu hamil dan ibu dengan balita.

Ketua IBI Provinsi Jawa Barat mengatakan “Lomba edukasi ini menjadi satu hal yang bagus. Terus terang hal ini merupakan hal yang baru bagi IBI Jawa Barat, namun tujuannya sudah cukup bagus. Karena masyarakat membutuhkan edukasi ini dan mengetahui apa yang harus kita lakukan,” Ujar Eva.

Lebih lanjut, Eva mengatakan bahwa edukasi mandiri yang dilakukan oleh bidan untuk masyarakat di sekitar wilayah praktek masing-masing tersebut merupakan bagian dari rangkaian program Bidan Sahabat Ibu dan Anak. Program tersebut merupakan kampanye kolaborasi yang dilakukan IBI bersama Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) sebagai langkah mencegah stunting dan gizi buruk.

Diantara materi yang diberikan untuk masyarakat adalah asupan gizi untuk ibu hamil, MPASI yang adekuat serta makanan dan minuman tinggi kandungan gula yang dapat mengganggu asupan gizi anak.

“Masyarakat perlu mengetahui bahwa kental manis bukan merupakan susu. Seluruh stakeholders dan pihak-pihak terkait perlu meyakinkan masyarakat bahwa hal tersebut tidak baik untuk anak-anak, terlebih untuk jangka panjang, generasi masa depan.” ujar Eva.

Sebagaimana diketahui, stunting masih menjadi kekhawatiran bersama. Meski prevalensi stunting Nasional telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun, namun edukasi gizi untuk masyarakat harus tetap dilakukan.

“Edukasi gizi untuk masyarakat dan khususnya untuk ibu hamil dan ibu dengan balita harus dilakukan secara berkesinambungan. Sebab, beragam makanan dan minuman dengan kandungan gula yang tinggi selalu bermunculan dan digandrungi anak-anak, remaja bahkan balita. Jika orang tua tidak paham mengenai gizi anak, maka anak-anak ini akan semakin terbiasa dengan makanan minuman dengan rasa manis atau gurih yang berlebih, dan ini tentu saja tidak baik untuk serapan gizi anak,” ujar Ketua Harian YAICI Arif Hidayat.

PP Muslimat NU bersama YAICI ‘Upgrade’ Literasi Gizi Masyarakat Mamuju untuk Mencapai Generasi Emas 2045

MAMUJU – Stunting masih menjadi persoalan di banyak propinsi di Indonesia. Meski prevalensi stunting secara nasional dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan penurunan, namun beberapa daerah di Indonesia mengalami prevalensi stunting di atas angka nasional. Sulawesi Barat misalnya, SSGI 2022 menunjukan prevalensi stunting Sulawesi Barat mencapai 33,8 persen dan berada di urutan kedua setelah NTT.

Pernikahan anak yang masih menjadi tantangan Sulawesi Barat menjadi salah satu faktor penentu stunting. Sebagaimana diketahui, stunting erat kaitannya dengan kesiapan dan kecukupan gizi calon ibu, hingga penerapan pola asuh dimasa 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK).

Lebih lanjut, Arif juga menyayangkan Mamuju yang memiliki hasil laut yang berlimpah namun masyarakat tidak terbiasa mengkonsumsi ikan. “Di sini memang persoalannya adalah pengetahuan masyarakat akan gizi. Ternyata masyarakat disini tidak paham betul nilai gizi yang terkandung pada ikan, sama seperti masyarakat tidak paham bahwa kental manis tidak bisa mencukupi gizi anak karena proteinnya yang sangat rendah dan gulanya tinggi. Karena itu, edukasi dan pendampingan untuk masyarakat perlu terus dilakukan, karena jika tidak, generasi mendatang tidak akan menjadi generasi emas, namun hanya akan menjadi ledakan penduduk,” jelas Arif Hidayat.

Dalam sosialisasi gizi yang digelar PC Muslimat NU Kab Mamuju dan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) yang dilakukan di Puskesmas Binanga pada Jum’at (25/8), kader posyandu dan masyarakat Binanga yang hadir diajak untuk memperhatikan asupan gizi anak, terutama membatasi konsumsi makanan dan minuman tinggi kandungan gula. Dalam kesempatan itu pula terungkat, sebagian besar peserta yang hadir ternyata masih menggunakan kental manis sebagai minuman susu selepas masa ASI ekslusif atau setelah usia 6 bulan.

Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU Erna Yulia Sofihara dalam kesempatan itu mengatakan, PP Muslimat NU sebagai organisasi yang memiliki kader kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia memberi perhatian lebih terhadap pengentasan stunting, terutama di daerah-daerah yang menjadi locus stunting.

“Karena itu kita harus gencarkan sosialisasi dan edukasi langsung ke kader-kader kesehatan dan juga masyarakat terutama calon ibu dan ibu dengan balita. Salah satu penyebab gangguan masalah-masalah gizi anak adalah kebiasaan konsumsi makanan dan minuman dengan kandungan gula yang tinggi. Kita harus pastikan anak diberi asupan yang sesuai dengan kebutuhan gizinya, dengan demikian kita bisa meningkatkan kualitas SDM dimasa mendatang,” jelas Erna.

Kepala Puskesmas Binanga Jasman yang hadir menyambut baik kolaborasi dari elemen masyarakat, dinas kesehatan dan Puskesmas Binanga dalam rangka meningkatkan literasi gizi masyarakat. “Memang tantangannya adalah menghentikan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi kental manis sebagai susu, karena memang persepsi yang sudah lama dianggap susu dan menjadi kebiasaan,” jelas Jasman.

Selain melakukan sosialisasi, Jasman bersama YAICI dan PC Muslimat NU Mamuju juga melakukan kunjungan ke sejumlah rumah yang memiliki baduta terindikasi stunting. Berdasarkan penelusuran hasil pengukuran berat badan, terlihat penurunan berat badan mulai terjadi mulai usia 6-8 bulan. Kondisi ini bila dibiarkan akan berpotensi menjadi stunting. Berdasarkan penuturan ibu, penyebab berat badan anaknya terus mengalami penurunan adalah karena sang anak tidak suka makan.

“Anak-anak ini sejak bayi diberi ASI tanpa susu tambahan. Tapi ternyata lepas dari masa ASI ekslusif, berat badannya mulai anjlok bahkan ada yang sudah di garis merah. Ini disebabkan karena pada masa MPASI asupan gizinya tidak cukup, hanya dikasih bubur nasi dan minum protein. Selain itu, kental manis juga masih digunakan sebagai minuman susu untuk anak-anak, rata-rata mulai diberikan sejak usia 1 tahun,” ujar Arif menjelaskan hasil kunjungan keluarga.

Dalam forum diskusi bersama media yang digelar di Mamuju, 25 Agustus 2023 mengemuka masih tingginya pernikahan di bawah umur menjadi faktor penyebab stunting di Sulawesi Barat.

Berbagai langkah telah dilakukan untuk mempersiapkan Generasi Emas 2045. Hal ini perlu dilakukan agar ledakan penduduk yang diprediksi akan terjadi tahun 2045 dapat menjadi generasi produktif yang dapat membangun Indonesia. Salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan adalah meningkatkan literasi gizi masyarakat. Hal ini diharapkan akan turut serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memberikan asupan gizi yang cukup untuk tumbuh kembang anak, terutama pada masa 1000 Hari pertama Kehidupan (HPK).

foto-rilis-1

22,3 Persen Warga DIY Masih Menganggap Kental Manis Sebagai Susu

Walau gula akan berdampak tidak baik bagi kesehatan, namun bukan berarti masyarakat tak boleh
mengkonsumsinya sama sekali. Menurutnya gula tetap diperlukan tubuh, namun kadarnya harus
dibatasi. Tria mengungkapkan untuk orang dewasa kebutuhan gula berkisar 35 – 40 gram perhari.
Sedangkan untuk anak-anak direkomendasikan antara 20 – 25 gram perhari.

YOGYAKARTA -Sebanyak 22,3 persen warga di DIY masing menganggap kental manis sebagai susu.
Padahal kental manis sebenarnya bukanlah susu, namun merupakan minuman gula yang
ditambahkan dengan susu. Sehingga jika mengkonsumsi kental manis sebagai susu, maka perilaku
tersebut tidak tepat.

Temuan tersebut merupakan hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia
Indonesia (YAICI) terhadap 1.000 responden di Kabupaten Bantul, Sleman, Kulonprogo dan
Gunungkidul pada bulan Juni lalu. Dalam penelitian ini YAICI turut menggandeng PP Aisyiyah dan
Universitas Aisyiyah (Unisa).

“Hasil temuan YAICI dan Aisyiyah menunjukkan masih banyak kental manis diberikan kepada anak
dan orang tua sebagai minuman susu pada masyarakat marjinal. Dari 1.000 responden, sebanyak
22,3 persen atau 231 ibu di empat kabupaten tersebut menganggap kental manis adalah susu,” kata
Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat SE.,MM dalam konferensi pers hasil penelitian ‘Penggunaan Kental
Manis pada Masyarakat Marjinal dan Dampaknya Terhadap Status Kesehatan Balita’ yang
dilaksanakan di Gedung Siti Moenjiyah UNISA Yogyakarta, Sabtu (19/08/2023).

Dari temuan ini juga diketahui 5,3 persen balita masih diberikan kental manis sebagai susu
pendamping ASI. Sedangkan sebanyak 27 persen lainnya kental manis dikonsumsi orang tua sebagai
susu. Arif Hidayat mengungkapkan jika anggapan ini diteruskan maka akan berdampak tidak baik
bagi kesehatan. Balita yang konsumsi kental manis terindikasi dan berpotensi mengalami malnutrisi
seperti gizi buruk, stunting maupun obesitas.

“Karena kental manis itu bukan susu, jadi perannya tidak bisa menggantikan susu. Kadar gula dalam
kental manis cukup tinggi sehingga sangat tidak baik jika harus dikonsumsi balita maupun anak-
anak,” jelasnya.

Ia mengatakan anggapan kental manis sebagai susu memang sudah lama terbentuk dalam
masyarakat. Dari penelitian ini diharapkan masyarakat akan lebih tahu tentang dampak yang dapat
ditimbulkan dari mengkonsumsi kadar gula tinggi, sehingga dengan demikian masyarakat tidak lagi
menganggap kental manis sebagai susu.

Guru Besar Gizi Universitas Muhammadyah Jakarta (UMJ) sekaligus wakil ketua penelitian, Prof. Dr.
Tria Astika Endah Permatasari, S.K.M., M.K.M mengungkapkan tanpa disadari apa yang konsumsi
sehari-hari oleh masyarakat mengandung gula. Ia membagi gula ke dalam tiga jenis yakni free sugar,
gula alami yang terdapat pada sayur dan buah, kemudian hidden sugar.

“Hidden sugar adalah gula tambahan yang disamarkan di dalam produk dengan nama-nama
tertentu, salah satunya pada kental manis. Sering kali konsumen tidak menyadari bahwa itu juga
termasuk jenis gula,” ungkapnya.

Ia menambahkan masa balita terutama pada dua tahun pertama kehidupan merupakan masa
tumbuh kembang, dimana kebutuhan protein sangat tinggi. Banyak sumber protein dapat diperoleh,
salah satunya dari susu. Kandungan protein dalam kental manis pada takaran saji hanya 1 gram saja,
sedangkan kandungan gula yang dimiliki sampai 20 gram. Sementara untuk balita, kebutuhan
protein yang harus dicukupi mencapai 9 – 25 gram sehari.

“Kalau misalnya seorang ibu mengajarkan kental manis asupan utama sebagai susu dengan 3 kali
sehari, maka itu hanya akan memenuhi 3 gram protein sehari. Kalau masih pada kental manis
(dijadikan sumber protein) yang utama, ini akan menjadi bahaya bagi generasi yang akan datang,”
pesannya.

Sementara itu Rektor Unisa Yogyakarta, Warsiti. S.Kep., M.Kep., Sp. Mat mengatakan dalam
penelitian ini Unisa mengirimkan beberapa dosen sebagai peneliti. Dari penelitian ini pula ternyata
ada banyak isu yang dapat dikembangkan nantinya, tak hanya sebatas pada kental manis saja.

“Bagaiman hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk masyarakat, tidak hanya di jurnal-
jurnal saja. Hasil ini nantinya juga akan kami bawa dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat,”
tegasnya.

WhatsApp Image 2023-08-07 at 09.48.10

Waspada Susu Kental Manis Picuh Stunting Pada Anak

Padangpariaman – Pemberian Susu Kental Manis (SKM) kerap menjadi pilihan bagi para ibu sebagai pengganti air susu ibu (ASI). Padahal, SKM bukan susu dan berpotensi menyebabkan Diabetes dan Stunting pada anak.

Hal itu ditegaskan Ahli Gizi Puskesmas Lubuk Alung Yuspita Lianti dalam kegiatan edukasi gizi untuk masyarakat Nagari Lubuk Kasiek, Kec. Lubuk Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Rabu 2 Agustus 2023. Kegiatan tersebut merupakan edukasi bersama yang dilakukan oleh PP Muslimat NU dan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) dan didukung oleh pemerintah kabupaten Padang Pariaman.

Dalam kesempatan itu, Yuspita mengatakan kurangnya literasi gizi dan kesadaran masyarakat untuk memilih makanan tinggi protein untuk anak turut memicu masih jamaknya konsumsi kental manis sebagai minuman susu balita saat ini.

“Kami sangat apresiasi dengan kegiatan ini, dan kami akan terus berkoordinasi dengan steakholder terkait dalam melakukan sosialisasi san edukasi kepada masyarakat terutama persoalan kesalahan konsumsi kental manis ini, ” ujarnya.

Lebih lanjut, Yuspita mengatakan pihaknya terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga pola makan dan pemberian protein dan gizi kepada anak. Jangan sampai ketidaktahuan menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan sehingga memicu tingginya Stunting di daerah itu.

Wali Nagari Pungguang Kasiek Dodi Marten mengatakan, akan terus melakukan koordinasi dengan puskesmas terkait sosialisasi kesehatan dan pemakaian SKM pada masyarakat. Dengan harapan akan dapat merubah peradigma akan kebutuhan makanan yang baik terhadap anak dan dapat mencegah meningkatnya angka Stunting di daerah itu.

“Dengan adanya pembekalan ini diharapakan para ibu dapat meningkatkan pengetahuannya dan mematuhi anjuran kesehatan, apalagi pada peruntukan SKM, sehingga asupan gula anak tidak berlebihan yang bisa memicu stunting,” ujarnya.

Ia menyarankan agar orang tua dapat memaksimalkan pemberian ASI eksklusif dan mengolah makanan lokal sebagai MPASI agar gizinya dapat terpenuhi.

Erna Yulia Sofihara, Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU mengatakan PP Muslimat NU sebagai organisasi memiliki kader kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia turut serta dalam percepatan penurunan stunting di Indonesia. “PP Muslimat NU telah banyak melakukan edukasi gizi langsung ke masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Hal ini merupakan langkah strategis kita dalam upaya bersama menurunkan stunting di Indonesia, khususnya di wilayah Padang Pariaman ini,” tegas Erna.

foto-rilis-2

Peran Strategis Bidan dalam Edukasi Gizi Seimbang untuk Ibu Hamil dan Keluarga

Jakarta – Bahaya konsumsi gula berlebihan terutama dalam bentuk kental manis yang digunakan sebagai topping untuk makanan dan minuman, apalagi diberikan kepada balita. Oleh karena itu  pentingnya edukasi gizi seimbang dalam upaya pencegahan masalah gizi, termasuk kasus obesitas yang meningkat  baik pada orang dewasa maupun anak-anak.  Dampaknya bisa mencapai tingkatan serius, bagi bangsa Indonesia, bukan dalam jangka pendek tapi  jangka panjang.

Dalam Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia berkolaborasi dengan Ikatan Bidan Indonesia Wilayah Jawa Barat, Hadir Kepala Tim Kerja Kesehatan Maternal, Neonatal dan Penurunan AKI AKB Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Laila Mahmudah, MPH., mengungkapkan Edukasi gizi seimbang menjadi kunci dalam mengatasi masalah ini.

“Kita perlu menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya mengetahui bahaya konsumsi kental manis dan menggantinya dengan pilihan makanan yang lebih sehat dan bergizi tidak dapat diabaikan,” jelas Laila.

Lebih lanjut Laila menjelaskan hal tersebut juga perlu bantuan dari bidan yang memiliki peran strategis dalam memberikan edukasi gizi seimbang kepada ibu hamil dan keluarga. (ini bisa jadi judul artikelnya). Selain itu, ia juga menekankan perlunya kerjasama antara sektor publik dan swasta dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan ibu hamil hingga bayi lahir.

Berdasarkan data laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, hampir seperempat wanita usia subur di Indonesia mengalami anemia, 21% mengalami hipertensi, dan 14,5% mengalami kurang energi kronis yang terlihat dari kondisi tubuh yang kurus. Selain itu, lebih dari 20% penduduk usia 18 tahun mengalami obesitas. Masalah gizi tersebut terus berlanjut hingga masa kehamilan, di mana hampir separuh ibu hamil di Indonesia mengalami anemia, yang dapat menyebabkan komplikasi dan pertumbuhan janin yang tidak adekuat.

Kondisi kematian ibu di Indonesia, meskipun menunjukkan penurunan, masih jauh dari target yang diharapkan. Kematian ibu di Indonesia pada tahun 2020 adalah 189 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan target global adalah menurunkan menjadi 70 kematian dalam setiap 100.000 kelahiran hidup. Indonesia juga tertinggal jauh dari negara-negara tetangga di ASEAN dalam hal angka kematian ibu dan bayi.

“Edukasi mengenai gizi seimbang, khususnya selama masa kehamilan, sangat penting untuk mencegah dampak buruk pada ibu dan bayi yang baru lahir. Anemia pada ibu hamil dapat menyebabkan pendarahan yang merupakan penyebab kematian terbanyak pada ibu di Indonesia, serta mengakibatkan bayi lahir prematur atau dengan berat lahir rendah, yang berisiko mengalami stunting di kemudian hari,” jelas Laila.

Dalam upaya meningkatkan kesadaran ibu mengenai gizi seimbang, Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi salah satu media komunikasi yang efektif. Buku KIA berisi panduan makan untuk ibu hamil dan menyusui, serta grafik peningkatan berat badan untuk memantau status gizi ibu selama kehamilan. Pemberian Buku KIA kepada ibu hamil diharapkan dapat membantu dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Untuk mencegah obesitas pada ibu hamil, anjuran untuk mengurangi konsumsi makanan tinggi gula, garam, dan lemak, serta meningkatkan konsumsi sayur dan buah, menjadi fokus dalam edukasi gizi.

Demikian juga, bagi ibu yang mengalami kurang energi kronis, penambahan porsi makanan dalam frekuensi lebih sering dapat membantu mengatasi kondisi tersebut.

Dalam menjaga kesehatan ibu dan anak, edukasi gizi yang tepat sejak masa remaja hingga masa kehamilan sangatlah penting. Masyarakat diimbau untuk memahami betapa berpengaruhnya gizi seimbang terhadap kesehatan, serta berperan aktif dalam upaya pencegahan masalah gizi dan peningkatan kesehatan ibu dan anak di Indonesia.

Pemerintah dan para tenaga kesehatan berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, khususnya dalam edukasi gizi seimbang, guna menghadapi tantangan gizi ganda yang saat ini dihadapi oleh Indonesia.

photo release (1)

IBI Jabar Ajak Bidan Perangi Gizi Buruk Melalui Edukasi Pangan Rendah Gula, Garam, Lemak

JAKARTA – Provinsi Jawa Barat masih membutuhkan aksi nyata untuk percepatan penurunan stunting hingga 14% pada 2024 mendatang. Saat ini, prevalensi stunting Jawa Barat berada di 20,2%, turun 4,3% dari tahun 2021. Hal itu disampaikan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil melalui sambutannya yang dibacakan oleh Pelaksana Harian Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, drg. Juanita Paticia Fatima, MKM., pada acara Webinar Nasional ‘Bidan Sebagai Garda Terdepan Dalam Mewujudkan Masyarakat Dan Mengawal Generasi Emas 2045’ yang diselenggarakan oleh Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Jawa Barat dengan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), pada Rabu (26/07/2023).

Selain stunting, hal lain yang masih menjadi perhatian Jawa Barat adalah persoalan-persoalan gizi yang dapat berdampak pada obesitas dan diabetes, ynag diakibatkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat serta kesalahan pemberian asupan anak. “Saat ini masih kurang peran masyarajat dalam mendapatkan informasi yang baik terkait gizi serta kebiasaan-kebiasaan yang sulit diubah, misalnya penggunaan kental manis sebagai susu anak” seperti dikutip dari sambutan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.

Lebih lanjut, Ridwan berharap bidan dapat mengambil peran strategis dalam perbaikan gizi anak. “Obesitas dan diabetes dan penyakit lainnya adalah masalah yang harus kita selesaikan bersama. Karena itu bidan diharapkan dapat memberikan pendampingan dan informasi gizi seperti edukasi tentang penggunaan kental manis yang tidam tepat di masyarakat,” lanjut Ridwan.

Kepala Tim Kerja Kesehatan Maternal, Neonatal dan Penurunan AKI AKB Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Laila Mahmudah, MPH., menjelaskan peran strategis bidan yang dapat dilakukan yaitu berupa pembinaan Posyandu dan penguatan kapasitas kader, menginisiasi hadirnya kelompok-kelompok penggerak kesehatan di masyarakat, kelas-kelas edukasi untuk remaja, ibu hamil dan balita.

“Bidan juga mempunyai peran dalam membantu masyarakat mengenali masalah gizi dan kesehatan di wilayahnya, serta menentukan prioritas intervensi gizi dan kesehatan, mendampingi masyarakat untuk mengenali potensi pendukung gizi dan kesehatan di wilayahnya, sehingga tercipta inovasi daerah yang memanfaatkan kearifan lokal,” kelas Laila.

Lebih lanjut Laila menjelaskan, penyuka makanan minuman manis khususnya kental manis itu cenderung dapat terkena diabetes. Risiko dari konsumsi susu kental manis terhadap diabetes yaitu terlihat dari tingginya kadar gula pada pada diabetes.

“apalagi bila ditambah dengan mengkonsumsi makanan lain yang kurang baik kemudian pola hidup anak yang sekarang kita tahu ya anak lebih sering bermain gadget kemudian yang kurang aktivitas fisik itu biasanya menambah risiko terjadinya diabetes pada anak.” jelas Laila.

Ketua IBI Provinsi Jawa Barat, Eva Riantini, mengatakan untuk meningkatkan kualitas generasi masa depan, harus dilakukan secara bersama-sama oleh berbagai pihak dengan mengubah pemikiran masyarakat yang saat ini masih menganggap bahwa kental manis merupakan susu.

“Masyarakat perlu mengetahui bahwa kental manis bukan merupakan susu. Seluruh stakeholders dan pihak-pihak terkait perlu meyakinkan masyarakat bahwa hal tersebut tidak baik untuk anak-anak, terlebih untuk jangka panjang, generasi masa depan.” ujar Eva.

Sebagai salah satu organisasi yang peduli akan kesejahteraan masyarakat, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia berkolaborasi dengan Ikatan Bidan Indonesia Provinsi Jawa Barat melalui program “Bidan Sahabat Ibu dan Anak.” Program ini bertujuan untuk memberikan pembekalan kepada anggota IBI cabang provinsi Jawa Barat, guna meningkatkan literasi gizi dan memberikan dukungan bagi para ibu dan anak.

Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat mengatakan, YAICI bersama para mitra telah melakukan sosialisasi, penelitian dan pencarian fakta lapangan terkait gizi balta dan kebiasaan konsumsi masyarakat.

“Dari berbagai persoalan yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa alasan ekonomi, minim edukasi dan kebiasaan telah menggiring masyarakat memilih alternatif pangan yang murah, mudah dan instan untuk anak, yang terlihat dari benang merah temuan di berbagai daerah: kebiasaan konsumsi kental manis oleh balita,” jelas Arif.

Dengan semakin meningkatnya peran bidan dalam masyarakat, terutama dalam upaya pencegahan stunting dan obesitas pada anak, diharapkan Indonesia dapat mencapai tujuan mulia Indonesia Emas 2045 dalam bidang kesehatan ibu dan anak. Edukasi dan kolaborasi antara organisasi dan pemerintah akan menjadi kunci penting dalam mencapai cita-cita tersebut.

Informasi Lomba Pemilihan Bidan Sahabat Anak YAICI bekerjasama dengan IBI Jaw Barat

 

Link Penting:
Template Proposal  https://bit.ly/TemplateProposalYAICI-IBI2023

Form Pengiriman Proposal  https://bit.ly/KirimProposalYAICI-IBI2023

Template Laporan Kegiatan  https://bit.ly/TemplateLaporanKegiatanYAICI-IBI2023

Form Pengiriman Laporan Kegiatan https://bit.ly/KirimLaporanKegiatanYAICI-IBI2023

Kisruh Penerimaan Siswa Baru Bukti Nyata Bobroknya Sistem Pendidikan

Dunia Pendidikan akhir-akhir ini menjadi sorotan akibat kisruhnya sistem penerimaan siswa baru di sejumlah daerah. Kekisruhan ini sejatinya terjadi akibat sistem zonasi yang diterapkan sejak 2017. Zonasi sendiri adalah sistem yang dibuat oleh kementerian Pendidikan dan kebudayaan untuk menyeleksi peserta didik setiap tahun ajaran baru agar dapat bersekolah sesuai dengan area domisili.

 Secara Bahasa pengertian zonasi dimaknai sebagai pembagian atau pemisahan suatu area menjadi beberapa bagian. Pertama kali diterapkan zonasi ini bertujuan untuk mengubah paradigma tentang  sekolah unggulan dan agar anak-anak dengan nilai akademik baik agar tidak mencari sekolah jauh dari lokasi tempat tinggalnya.  Regulasi zonasi dalam PPDB mengatur sekolah milik pemerintah yang mana sekolah wajib menerima calon peserta didik yang bertempat tinggal dekat dengan rumah  paling sedikit 90% dari total peserta didik.

Konsep sistem zonasi ini diklaim mampu memberikan dampak baik pada pemerataan Pendidikan. Hal ini dikarenakan zonasi dipercaya dapat mendorong seluruh sekolah milik pemerintah agar dapat meningkatkan kualitas sistem Pendidikan dan pengajaran di dalamnya. Meski demikian, sejak pertama PPDB diberlakukan masih banyak permasalahan yang hadir dan belum terselesaikan sebagai implikasi masih bobroknya sistem pendidikan nasional.

Ketersebaran Sekolah Tidak Merata dan Fasilitas Sarana Prasarana yang buruk

Sistem zonasi yang menuntut para peserta didik untuk bersekolah dekat dengan lokasi tempat tinggalnya secara faktual tidak didukung dengan jumlah sekolah yang tidak tersebar secara merata. Misal, dalam satu Kecamatan hanya ada satu sekolah, sedangkan di Kecamatan lain ada dua hingga tiga sekolah. Hal ini membuat satu-satunya sekolah yang ada pada kecamatan tersebut kelebihan peserta didik hingga 50%.

Kasus ini diperburuk dengan kualitas sarana prasarana yang tidak layak. Tidak siapnya sarana prasarana yang nampak membuat psikologis orang tua peserta didik engga untuk memasukan anaknya ke sekolah tersebut. Selanjutnya, dampak dari buruknya sarana prasarana ini tentu akan memberikan dampak buruk kepada proses pembelajaran. Sebagai contoh, jika ada dua sekolah yang mana satu masuk hitungan zonasi namun dengan fasilitas seadanya dan yang kedua tidak tapi memiliki fasilitas yang lebih lengkap seperti ruang kelas yang ramah anak, laboratorium penunjang serta perpustakaan lengkap, tentu para orang tua akan memasukan anaknya ke sekolah diluar zonasinya.

Kualitas Pendidikan dan Pengajaran yang Sama Buruknya dengan Fasilitas.

Permasalahan kedua tentang zonasi tidak berbeda jauh dengan permasalahan pertama, yaitu kualitas pendidikan dan pengajaran yang sama buruknya dengan fasilitas. Tujuan awal zonasi yang diterapkan adalah untuk menghilangkan stigma sekolah favorit ini tentu harus ditopang dengan baiknya kualitas sekolah pada area zonasi tersebut. Kualitas pendidikan dan pengajaran yang dimaksud termasuk kualitas guru, metode pembelajaran yang dipakai, kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler.

Paradigma sekolah favorit sendiri sejatinya hadir karena adanya ketimpangan yang terjadi diantara satuan pendidikan milik pemerintah baik di tingkat TK, SD, SMP dan SMA. Faktor ketimpangan inilah yang sejak lama membentuk persepsi para orang tua bahwa mereka tidak bisa memasukan anaknya ke sembarang sekolah atau dalam arti lain harus memasukan anaknya ke sekolah favorit. Hal ini lumrah dilakukan para orang tua karena sudah pasti orang tua ingin memberikan pendidikan terbaik untuk anaknya.

Ketimpangan ini banyak terjadi sebagai contoh masih banyak sekolah di daerah tertentu yang menyelenggarakan proses pendidikannya dengan asal-asalan. Peserta didik banyak yang dianggap hanya sebagai objek pendidikan semata untuk hanya masuk kelas dan diberikan tugas. Tanpa diberikan stimulus pendidikan yang berarti dan sesuai dengan amanat dari SISDIKNAS yang menginginkan insan yang cendekia dan berakhlak mulia dari hasil pendidikan itu sendiri.

Lebih jauh, masih banyak pula sekolah yang tidak memiliki program intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang jelas. Tidak adanya penopang bagi peserta didik untuk mengembangkan minat dan bakatnya. Sehingga membuat banyak potensi generasi muda Indonesia yang terbuang sia-sia.

Praktik Curang “jual beli kursi” sekolah dan KK Palsu.

Sekolah sebagai salah satu satuan pendidikan yang menjadi representasi pertama kata pendidikan itu sendiri dalam kasus zonasi, ternyata malah menjadi sumber masalah. Meski tidak semua sekolah berlaku demikian, namun praktik curang yang dilakukan salah satu sekolah sangat jelas dapat mencoreng nama baik pendidikan nasional. Kecurangan ini dilakukan secara sengaja oleh oknum dari pejabat satuan pendidikan tersebut.

Pada kasus zonasi, praktik curang sekolah yang sering kali ditemukan adalah jual beli kursi. Jual beli kursi yang dimaksud adalah agar calon peserta didik bisa mendapatkan kuota disekolah yang dituju. Kecurangan ini sejatinya sudah terjadi sejak lama dan belum terselesaikan hingga sekarang.  Mirisnya, praktik curang jual beli kursi ini diperparah dengan adanya zonasi.

Sistem zonasi yang sejatinya memiliki tujuan baik ini disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab pada tataran pemegang jabatan satuan pendidikan. Sebagai contoh, karena sistem zonasi yang masih membolehkan sebanyak 10% penerimaan siswa dari luar daerah zonasinya, maka oknum jahat ini memanfaatkan hal tersebut dengan menjual kuota tersebut bagi siapa yang berani membayar lebih. Padahal, presentasi ini ditujukan untuk para peserta didik yang memang membutuhkan karena bisa jadi di daerahnya belum ada sekolah milik pemerintah sehingga mengharuskan peserta didik ini masuk ke sekolah lain di luar zonanya.

Tidak hanya sekolah, praktik curang juga dilakukan dari pihak calon peserta didik. Banyak ditemukan dilapangan adanya praktik migrasi kartu keluarga bahkan parahnya adanya kartu keluarga palsu! Kecurangan ini disinyalir hadir akibat keinginan orang tua yang memaksa memasukan anaknya ke sekolah favorit yang tidak ada pada area zonasinya. Kecurangan ini dilakukan karena syarat administrasi dari PPDB adalah kartu keluarga sebagai bukti bahwa benar adanya calon peserta didik masuk ke sekolah sesuai dengan area domisilinya.

Permasalahan PPDB Zonasi adalah Bukti Nyata Buruknya Sistem Pendidikan Nasional.

Banyak pelanggaran yang terjadi dalam PPDB Zonasi ini jelas tidak dapat dibenarkan. Hal ini juga sangat jelas mencederai tujuan mulia pendidikan. Namun demikian, segala permasalahan ini adalah bukti nyata bahwa sistem pendidikan nasional masih pada kualitas yang buruk. Parahnya, bobroknya kualitas pendidikan tersebut hingga saat ini belum diselesaikan dengan baik. Serta menjadi bukti bahwa pemerintah belum serius untuk menyelesaikan masalah pendidikan yang ada.

Masalah zonasi sangat berkaitan dengan pemerataan dan koordinasi yang buruk antara pusat dan daerah. Hal ini karena jika pemerataan pendidikan sudah tercapai maka seharusnya zonasi akan menjadi suatu solusi yang berjalan dengan baik sesuai tujuannya. Selain itu, jika koordinasi antara pusat dan daerah berjalan optimal maka seharusnya anggaran pendidikan yang diberikan di tiap-tiap daerah dapat dioptimalkan untuk fasilitas sarana prasarana, peningkatan kualitas dan kesejahteraan pendidikan yang akan berdampak baik pada pendidikan itu sendiri sehingga sistem zonasi akan dapat mewujudkan cita-cita pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

WhatsApp Image 2023-06-06 at 19.27.28

Perkuat Kerjasama, YAICI Bersama Majelis Kesehatan PP Aisyiyah Melakukan Penelitian Konsumsi Kental Manis pada Masyarakat Marjinal di Prov. DI.Yogyakarta

YAICI bersama Majelis Kesehatan Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah melanjutkan kerjasama dalam penelitian konsumsi kental manis pada masyarakat marjinal di provinsi Yogyakarta, meliputi 4 kabupaten; Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul dan Bantul.
Sebelum melakukan penelitian YAICI memberikan pembekalan kepada kader-kader yang akan turun ke lapangan. Untuk lebih mempererat hubungan kerjasama YAICI melakukan audiensi dengan pengurus baru yang terpilih untuk periode 2022 – 2027 yang dipimpin oleh Dr. APT. Salma Orbayina.,M.Kes, didampingi oleh Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah terpilih, Warsiti, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.

Ketua Umum PP Aisyiyah dan Ketua Majelis Kesehatan menyambut baik lanjutan kerjasama antara YAICI dengan PP Aisyiyah di tahun 2023, yang merupakan lanjutan kerjasama yang telah terjalin sejak 2019. Beliau menekankan bahwa kerjasama yang telah terjalin ini harus membawa manfaat bagi kedua belah pihak dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum luas.
Agenda berikutnya tim YAICI bersama dengan kader Aisyiyah melakukan kegiatan penelitian dengan mengambil sampel responden sebanyak 1000 ibu balita yang dimulai sejak tanggal 7 hingga 8 Juni 2023.
Hasil dari pengambilan 3 sample di wilayah Bantul, ditemukan satu ibu yang mengonsumsi kental manis yang diberikan kepada keluarganya termasuk anak balitanya, namun Ia mengakui kental manis dengan cara diseduh dan diberikan kepada balitanya tidak diberikan secara rutin. Namun frekuensi konsumsi kental manis ketika bulan puasa tahun ini dapat dikatakan hampir setiap hari digunakan sebagai topping dan tambahan minuman untuk berbuka.

   
Sementera di Sleman salah satu responden yang diwawancarai mengaku bahwa Ia rutin mengonsumsi kental manis minimal satu hari sekali saat malam atau pagi ketika merasa lapar. Kasus lain ditemukan pula oarang tua yang rutin mengkonsumsi kental manis secara rutin, namun berat badannya tidak naik malah semakin kurus.
Hasil temuan di 4 Kabupaten Daerah Istimewa Yogyakarta kental manis dipergunakan untuk tambahan pada minuman saat berbuka puasa dan juga sebagai bahan topping pada makanan baik untuk anak-anak ataupun orang dewasa. Artinya dari 12 responden yang diwawancara rata-rata ibu sudah menggunakan kental manis sesuai peruntukannya. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah frekuensi dan jumlah konsumsi kental manis bagi keluarga. Hal ini dikarenakan 1 sachet atau setara dengan 50-gram kental manis mengandung sekitar 25–30-gram gula. Sedangkan batas konsumsi gula garam dan lemak harian yang disarankan oleh Kemenkes hanya 50-gram perhari atau setara 4 sendok makan gula. Artinya, sekali konsumsi kental manis sudah hampir memenuhi batas konsumsi gula harian. Konsumsi kental manis yang dilakukan oleh para responden banyak dipengaruhi oleh iklan TV, iklan produk di spanduk yang memberikan informasi yang salah sejak 1 abad.

DSC09821

YAICI bersama Majelis Kesehatan PP ‘Aisyiyah Lakukan Penelitian Pola Konsumsi di Banten

BANTEN – Kebiasaan minum kental manis sebagai susu oleh anak terutama balita masih banyak ditemukan. Di Banten, pemberian kental manis untuk anak dipicu karena kebiasaan dan pengaruh iklan puluhan tahun yang melekat di benak masyarakat. Padahal, cara beriklan produk kental manis sudah mulai berubah sejak BPOM mengeluarkan aturan mengenai iklan dan label kental manis. 

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) Yuli Supriati membenarkan iklan-iklan kental produk kental manis yang menunjukkan cara minum diseduh sebagai susu memang sudah berubah. “Dulu memang iklannya sangat menunjukkan minum kental manis agar anak sehat, minum setiap pagi dan lain sebagainya. Sejak diatur oleh BPOM, pelan-pelan sudah diiklankan sebagai topping, meski melalui kampanye sosial media kadang masih suka ditemukan pelanggaran,” papar Yuli pasca kunjunganya ke Pandeglang 23-24 Mei kemarin. 

“Perubahan cara beriklan ini adalah yang harus kita apresiasi terhadap produsen. Namun, yang masih menjadi PR hingga saat ini bahwa ternyata pengaruh iklan kental manis sebagai susu di tahun-tahun sebelumnya itu, ternyata masih berdampak hingga saat ini. Masyarakat yang dulu mungkin di usia kecil atau muda terpapar pesan iklan tersebut, hingga kini ternyata masih tersimpan di benaknya bahwa kental manis adalah susu untuk anak. Alhasil, walaupun sekarang iklan sudah diatur, tapi kebiasaan itu masih dilanjutkan untuk anak-cucu mereka,” jelas Yuli. 

Lebih lanjut aktivis kesehatan masyarakat ini menuturkan, kunjungannya ke beberapa wilayah di Banten adalah dalam rangka pendampingan penelitian konsumsi kental manis oleh balita yang dilakukan bersama kader PP Aisyiyah. Terdapat 10 wilayah yang menjadi wilayah penelitian yaitu Kecamatan Rangkasbitung, Warung Gunung, Leuwidamar, Cihara, dan Cibeber yang berada di wilayah Kabupaten Lebak. Kecamatan Labuan, Jiput, Cikedal, Cisata, dan Koroncong berada di wilayah Kabupaten Pandeglang. Penentuan lokus penelitian tersebut berdasarkan prevalensi stunting wilayah yang masih  tinggi. 

Kabupaten Pandeglang misalnya, yang menjadi wilayah dengan prevalensi balita stunting tertinggi di Banten berdasarkan SSGI 2022, yakni mencapai 29,4%. Di posisi ke-3 diikuti Kabupaten Lebak di peringkat ketiga sebesar 26,2%.

“Pada umumnya, yang kami temukan di sini relatif seragam, bayi dan balita mengkonsumsi makanan yang seharusnya bukan untuk balita seperti susunya pakai kental manis, snack dan makanan ringan bahkan gorengan,” ungkap Yuli. Kesalahan konsumsi makanan dan minuman oleh anak, balita dan bayi tersebut tentu mempengaruhi tumbuh kembang mereka. 

Jumsinah (40 th), warga Rangkasbitung misalnya. Berat badan anaknya yang berusia 1,5 tahun saat ini hanya 5 kg. Sang anak juga menderita flek paru. Sang ibu mengakui asupan sehari-harinya adalah gorengan. Tak berbeda jauh dengan Jumsinah, Irawati (29 th) mengakui ketiga anaknya minum kental manis sejak usia belum genap 1 tahun. Ia sendiri mengetahui kental manis bukan susu untuk anak. Namun karena sudah terbiasa, Jumsinah enggan mengganti susu anaknya. 

“Tau sih, ga boleh buat anak. Tapi kan dulu kita nontonnya TV, di TV katanya itu (kental manis *red) buat susu anak ya, ya udah biarin aja,” ujar ibu rumah tangga ini pasrah. 

Edukasi Susu untuk Masyarakat Diperlukan

Bagi beberapa Ibu, tidak memberikan susu untuk anaknya adalah sesuatu yang membuatnya malu. Sehingga Ibu terpaksa memberikan kental manis yang murah dan lumrah di lingkungan masyarakat. Ibu merasa anaknya sehat-sehat saja, faktanya tubuhnya kurus dan kulit gatal-gatal. Di Kecamatan Cisata, Sumiyati memberikan kental manis untuk anaknya Nadhifa (3) sejak usia 1,6 tahun atau sejak lepas ASI.

Anak dari Meliyana berusia 3 tahun, setiap 1,5 jam selalu minta dibuatkan kental manis, rasa coklat. Tubuhnya nampak lebih berisi dari teman-teman sebayanya. Meliyana juga merasa khawatir, pasalnya di lingkungannya pernah terjadi anak usia TK menderita diabetes karena konsumsi minuman berpemanis dan di rawat di Rumah Sakit. 

Beralih di Kecamatan Labuan, Bu Novi Damayanti, 1 Bulan habiskan 4 Kaleng SKM Gold untuk anaknya. Awalnya tidak mengakui bahwa ia memberikan kental manis hingga Tim YAICI berbicara melakukan pendekatan akhirnya ia mengakuinya. 

Selain kurangnya edukasi, pernikahan dini menjadi salah satu faktor minimnya penerapan literasi gizi pada anak. Putri (19) menikah dari usia 16 tahun. Memiliki anak, Aulia (2) sudah mengkonsumsi kental manis sejak usia 1 tahun, ia diberikan kental manis karena saran dari saudara. 

Dalam hal garda terdepan kesehatan masyarakat Ibu dan anak berada di tangan kader posyandu yang harus memiliki pengetahuan kesehatan keluarga. Edukasi kepada kader posyandu akan berdampak pada kesehatan ibu dan anak di lingkungannya. YAICI mendukung program pemerintah dalam merevitalisasi Posyandu demi tujuan baik untuk kesehatan masyarakat Indonesia. Kader menjadi harapan bagi masyarakat.